Health Issue
Travel
Thoughts
Review

When A Huge Fan of 'Gudai' Visits Forbidden City

By hanaumiya - 19 August 2018

A part of Forbidden City
Forbidden City atau yang dikenal dengan sebutan Palace Museum atau dalam Bahasa Cina disebut sebagai Gugong 故宫 (istana kuno) merupakan sebuah komplek kerajaan yang digunakan sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal kaisar Cina sejak masa Dinasti Ming hingga Dinasti Qing. Gugong merupakan salah satu mahakarya Cina yang menjadi simbol supremasi Kaisar Cina pada masanya. 

Sebagai fans berat 'Gudai', berkunjung ke Forbidden City menjadi pengalaman berharga bagi saya. Jika dibandingkan, mungkin ekspresi saya akan sama persis dengan reaksi anak-anak penggemar Disney Princess ketika berkunjung ke Disneyland. Setiap hall dan bangunan di dalam komplek Gugong ini menyimpan begitu banyak sejarah di dalamnya. Setiap bangunan berdiri kokoh dengan arsitektur Cina kuno yang begitu indah, artistik dan juga penuh makna.

Tumbuh besar bersama sekumpulan drama dan kolosal Cina yang berlatar kerajaan dan peperangan pada masa kedinastian, membuat saya merasa seperti berada di masa itu ketika pertama kali menjejakkan kaki di Forbidden City.

Bagi kalian yang mengenal Huan Zhu Gege_ sebuah drama Cina berlatar kerajaan pada masa dinasti Qing itu adalah salah satu alasan saya menjejakkan kaki di negeri ini. Meskipun setting drama tersebut tidak dilakukan di dalam Gu Gong, namun setiap sudut bangunan, hall dan juga taman dalam lakon tersebut termainkan ulang dalam benak saya lengkap dengan semua detail kerajaan Dinasti Qing. 

Kalau ada yang penah menonton film The Last Emperor Puyi, nah inilah sedikit potrait nyata beberapa adegan yang memang menjadikan Gugong sebagai tempat pengambilan gambar.

The Most Favorite Spot on The Forbidden City


龙椅  Lóngyǐ (Singgasana Naga)

Salah satu Hall di dalam Gu Gong




Salah satu bangunan di bagian belakang Gu Gung


Mengunjungi Forbidden City yang begitu luas memang cukup melelahkan, ditambah lagi jarak antara satu bagunan ke bagunan lain cukup jauh, serta bentuk bangunan yang kalau dilihat secara sekilas semuanya memiliki bentuk yang cukup mirip. Langkah demi langkah yang dijejakkan dari satu istana ke istana lainnya, dipisahkan oleh beberapa hall yang sangat luas. 

Bagi pecinta sejarah, setiap detail bangunan sangat menarik bagi saya, sesimple sepasang relief Naga yang menjadi simbol Kaisar dan Phoenix sebagai simbol Permaisuri. Semua detail itu menjadi satu hal yang dengan tidak bosannya untuk terus dilihat.

Tiket masuk ke Forbidden City 60 Yuan, bisa dibeli on the spot di depan pintu masuk, cukup menunjukkan passport dan membayar 60 Yuan kita bisa langsung masuk untuk mengeksplore Forbidden City. Tips untuk mengunjungi Forbidden City yang utama adalah memakai alas kaki yang nyaman karena penjalanan menyusuri tempat ini akan sangat panjang, pemakaian sepatu kets mungkin menjadi pilihan terbaik. Dikarenakan kami berkunjung ke sana di bulan Mei which is notabene terik mataharinya masih lumayan panas, membawa payung menjadi salah satu pilihan cerdas, sisanya tinggal siapkan tubuh yang fit untuk mengeksplor mahakarya terbesar kebanggaan Negeri Tirai Bambu ini.

Ini adalah salah satu kegiatan napak tilas kami di Cina, setelah The Great Wall, Tiananmen Square, dan Forbidden City, masih banyak tempat dan kisah tentang Cina lainnya yang akan saya tuliskan di sini, see you on the next story! :)

Tentang Dante

Angin sejuk membelai rambut hitam Arimbi yang sedang duduk manis di salah satu sudut cafe favoritnya. Jemarinya menari lincah di atas keypad laptop sambil sesekali menyeruput hot chocolate. Arimbi yang terlihat hari ini sangat berbeda dengan Arimbi dua tahun lalu. Terlihat begitu tenang, percaya diri dan aura bahagia terpancar jelas dari garis wajahnya.

Hatinya kini sedang berbunga karena satu alasan, kehadiran Dante. Seorang teman yang membuatnya percaya bahwa ia masih memiliki rasa dan seorang yang dari sosoknya bisa mengajarkan banyak hal dalam hidup Arimbi saat ini.

"Mbi, kamu selesai ngajar jam berapa? Aku sekarang masih di Sency, kamu langsung nyusul ke Union yah" Suara Leidy terdengar dari seberang telefon
"Ini aku baru selesai Lei, Okay see you there!" jawab Arimbi

Tidak butuh waktu lama bagi Arimbi untuk tiba di Union untuk menemui sahabatnya itu.

"Hi Lei, udah lama nunggu ya? tadi macet banget" ujar Arimbi
"Ngga kok Mbi, santai aja, kan kita masih nunggu Manda juga di sini" sahut Leidy
"Lei, gw duluan yah, masih ada janji ketemu orang lagi" Suara laki-laki dari sekelompok meja sebelah berpamitan kepada Leidy

Arimbi merasa familiar dengan lelaki itu, tapi ia sama sekali tidak ingat kapan dan di mana ia bertemu dengan orang ini hingga tiba-tiba suara itu memecah keheningan Arimbi.

"Is she your buddy Lei? Rasanya kita pernah ketemu yah" ucap Dante 
"Ini Arimbi, best buddy gw dari dari jaman kuliah, kenalin Dan" ujar Leidy
"Hi, Dante " Dante mengulurkan tangan berkenalan dengan Arimbi
"Hi, Arimbi" sambut Arimbi

Begitulah awal pertemuan Arimbi dan Dante hingga akhirnya mereka menjadi teman sepermainan hingga hari ini.

Mengenal Dante dalam hitungan bulan, mengajarkan banyak hal pada Arimbi. Dante hadir sebagai seorang teman, datang tanpa pongah dengan sederet hal yang sebetulnya bisa disombongkan dari dirinya, dan dia datang dengan perangai yang berbeda yang belum pernah ditemui Arimbi selama ini.

Lebih dari satu tahun lalu Arimbi berkelana dengan dirinya sendiri, berusaha bangkit dan mencari jati dirinya yang pernah hilang, berusaha mengumpulkan kembali semua kepingan hati yang sempat pecah dan hancur. Pada titik itulah Arimbi sempat mengalami krisis kepercayaan akan keberadaan laki-laki baik di dunia ini, baik dalam bentuk teman ataupun pasangan. Namun Tuhan begitu baik, Ia selalu mempertemukan Arimbi dengan orang-orang baik, laki-laki baik yang sedikit demi sedikit mampu membuktikan kepada Arimbi bahwa laki-laki yang benar-benar baik itu sungguh nyata keberadaannya.

Kebetulan kantor Dante, Arimbi dan Leidy hanya bersebelahan, sehingga mereka seringkali menghabiskan waktu makan siang bersama.

Notifikasi Whatsapp masuk di handphone Arimbi.
Dante : Mbi, lunch dimana? bareng yok, ajak Leidy sekalian
Arimbi : Kantin kantor lo aja yuk, abis itu nongkrong Starbucks gimana?
Dante : OK, lunch time gw tunggu yah 

Seperti itulah mereka menghabiskan waktu makan siang, makan di kantin kemudian ngobrol santai. Hari demi hari berlalu hingga pertemanan mereka mencapai titik nyaman yang sudah sekian lama tidak pernah dirasakan Arimbi. Arimbi dua tahun lalu, tidak mudah untuk mengenal orang baru, tidak mudah untuk akrab dengan lelaki baru dan sangat sulit mencapai titik nyaman bersama orang di luar comfort zone nya. Tapi dengan Dante, semua berbeda. Dante hadir dan masuk dalam inner circle Arimbi secara perlahan, yang tanpa disadari berhasil bertahta di ruang yang telah lama kosong, ruang yang selalu dipagari tinggi-tinggi oleh Arimbi.

Bersama Dante, perlahan Arimbi menemukan kembali dirinya yang dulu, perlahan kepercayaan dirinya kembali, perlahan Iapun bisa membuka diri, berani berinteraksi dan berkomunikasi dengan caranya yang dulu, hangat dan ceria.

"Dan, somehow kok gue merasa kagum sama lo yah, lo tau betul apa yang lo mau, let say ngomongin kerjaan deh, lo hebat bisa tau kemana career path lo, apa passion lo dan lo punya mimpi besar yang wow banget" kata Arimbi pada Dante suatu ketika.
"Mungkin karena gue laki-laki dan sudah seharusnya gue seperti itu, mikir jauh kedepan. Dan menurut gue semua laki-laki di dunia ini juga berpikir seperti itu. Beda sama perempuan yang mungkin ngga sampai segitunya memikirkan karir, secara tinggal nunggu dipinang" terang Dante tersenyum

Arimbi terdiam mendengar jawaban Dante, Ia berkelana dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba lo ngomong gitu Mbi?" Dante merasa aneh
"Hahaha...ngga apa-apa, curious aja, tapi ngga semua perempuan ngga mikirin karir lho, kok kesannya perempuan tuh tinggal dijajakan sambil nunggu dipinang sih" jawab Arimbi menentang
"Hahaha bukan gitu Mbi, maksudnya kebanyakan perempuan jarang sampai mikirin karir harus gimana-gimana, tapi itu juga tergantung perempuannya juga sih" jelas Dante
"Terlepas dari gender laki-laki atau perempuan, ngga semua orang tau dan bisa menemukan passion serta arah mereka mau kemana, banyak yang justru hidup mengalir mengikuti kemana arus membawa" lanjut Arimbi
"Nah yang seperti ini biasanya mereka terjebak di comfort zone" jawab Dante
"By the way, memangnya semua laki-laki pasti punya pemikirian ke arah sana ya?" tanya Arimbi
"Well, lelaki normal harusnya pasti punya pemikiran kesana, tapi semua tergatung juga. Kalau lelaki go with the flow aja gimana gitu yah, kecuali dia memang dari keluarga yang udah berada mungkin itu juga oke sih" jelas Dante

"Dann, ngga apa-apa yah gue nanya-nanya dan ngomongin beginian, gw beneran pengen tau dari sudut pandang lelaki aja sih soal seperti ini" Arimbi menjelaskan kepada Dante
"Hahahaa Mbiii.. ngga apa-apa banget, cuma tumben aja agak berbobot diskusinya" canda Dante
"I've been there, kenal sama laki-laki yang selalu go with the flow for long time, dan ngedenger semua cerita lo belakangan ini jadi perspektif baru buat gue, dan gue bener-bener cuma mau tau dari sudut pandang yang berbeda." Arimbi menjelaskan
"So, menurut lo, kalau lelaki dari keluarga berada hanya go with the flow itu oke?" lanjut Arimbi
"Yup, secara dia cuma kerja sambilan, toh in the end dia bakal disupport oleh keluarganya. Cuma mungkin pola pikir dia akan berbeda dengan lelaki yang harus bisa survive sendiri" jawab Dante
"Hmm... berarti semua tergantung keadaan yah, ngga masalah seseorang mau mengejar karir atau just go with the flow, toh in the end tujuannya akhirnya adalah they can survive in term of material. I got the point" jawab Arimbi
"Yup, itu menurut pandangan gue yah Mbi, intinya kalau lelaki yang cuma go with the flow tapi hidupnya pas-pasan, itu berarti dia males" terang Dante sambil tertawa

Itu adalah salah satu dari beberapa hal yang dikagumi oleh Arimbi dari seorang Dante. Dante bisa menjawab segala keingintahuan Arimbi mengenai berbagai hal dengan cara yang sangat apik. Setiap pola pikirnya selalu menjadi bahan pelajaran baru bagi Arimbi, Arimbi seperti menemukan sesuatu yang baru yang begitu menarik untuk dicari tahu dan dipelajari melalui sosok Dante. Sikap dan pemikiran Dante yang sangat dewasa telah membawa warna baru dalam hidup Arimbi, Arimbi seperti diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat dan mengenal banyak lelaki baik di luar sana, Dante salah satunya. Lelaki yang bersebrangan dari segi pola pikir, sikap dan kedewasaan dari yang dulu pernah dikenal oleh Arimbi delapan tahun lamanya. Melalui sosok Dante, mata Arimbi kembali terbuka dan Ia mulai percaya bahwa ruang itu tidak pernah membeku, dan Arimbi memilih menikmatinya.




"Tuhan menitipkan pesan berharga pada setiap orang yang singgah dalam plot hidup kita, ini hanya tentang apakah kita mampu menangkap pesan itu atau tidak" -hnu

Tentang Adhika

By hanaumiya - 12 August 2018


"Mbi, besok gue jemput jam 05.30 yah, nanti gue telepon lo sebelum berangkat" Suara Dhika dari seberang telepon
"Ok kak, see you tomorrow yah, gue mau lanjut packing dulu" sahut Arimbi

Sedikit cerita tentang Dhika, kesan awal Arimbi melihat lelaki ini adalah sosok lelaki cheerful yang bisa dengan mudahnya bersikap dan berkata manis kepada perempuan, dan berdasarkan 'alarm keamanan' Arimbi, lelaki seperti ini adalah salah satu dari sekian jenis yang harus dihindari. Namun setelah berinteraksi dengannya, perlahan Arimbi mulai mengerti dan padangannya terhadap Dhika pun semakin berubah.

"Mbi, gue udah on the way ke rumah lo yah, lo udah siap?" Tanya Dhika
"Iya kak, gue lagi siap-siap, call aja kalau udah sampai yah" Jawab Arimbi

Pagi itu Arimbi dan Dhika akan ke Sumba untuk mengikuti salah satu kegiatan kerelawanan pendidikan yang sebelumnya juga sudah pernah mereka ikuti bersama yang juga menjadi awal perkenalan mereka. Dua orang anak manusia yang tergila dengan dunia volunter dalam dunia pendidikan. Dan kali ini mereka dipertemukan kembali dengan tujuan yang lebih jauh, yakni Sumba.

"Pesawat kita jam 09.30 kan yah? lama banget dong kita nunggunya?" suara Arimbi memecah keheningan
"Ya gak apa-apa, kita bisa sarapan santai dulu di airport sambil nunggu Clara" jawab Dhika. 

Sepanjang perjalanan, percakapan antara Arimbi dan Dhika berlangsung mengalir, keduanya saling menceritakan pengalaman masing-masing ketika awalnya mereka masuk ke dunia volunter ini, hingga akhirnya mereka tiba di Airport dan bergegas ke salah satu restaurant untuk sarapan pagi. Tanpa disadari ternyata sudah hampir boarding time, Arimbi, Dhika dan Clara bergegas ke check in counter untuk menitipkan bagasi Arimbi yang kebetulan membawa koper, sedangkan Dhika dan Clara hanya membawa backpack yang akan masuk kabin. 

Terkendala di check in counter, membuat mereka bertiga harus berlari menuju gate keberangkatan hingga last call dari petugas maskapai. Ini pengalaman pertama naik pesawat last call hingga digiring berlari menuju pesawat. Sesampainya di dalam pesawat, semua penumpang sudah duduk manis dan menatap mereka bertiga yang menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam pesawat. 

Sambil mengatur napas yang tersengal setelah berlari, mereka bertiga berusaha mencari ruang kabin yang kosong untuk menaruh backpack dan beberapa barang keperluan mengajar di Sumba nanti, namun tidak satupun dari mereka mendapati satu ruang kosong untuk menaruh barang.

"Maaf Bapak / Ibu, semua kabin sudah penuh, tidak bisa dimasukkan barang lagi" Suara seorang pramugari menghampiri kami

Saat itu Arimbi sudah mulai naik darah dan bersiap menyambar jawaban sang pramugari.

"Jadi barang kami gimana Kak?" Dhika berkata  dengan tenangnya kepada sang pramugari
"Mungkin bisa diletakkan di bawah kursi depan Bapak" Jawab pramugari
"Tapi ini banyak Kak, ngga akan muat" lanjut Dhika tenang
"Oh coba saya bantu cari ruang kosong di depan" Pramugari tersebut akhirnya membantu kami

Kalau saja tidak keduluan Dhika, mungkin Arimbi sudah mengeluarkan reaksi emosinya pada sang pramugari, mengingat karakter Arimbi yang saat itu masih mudah tersulut emosi, terlebih dalam kondisi lelah setelah berlari-lari. Namun reaksi Dhika yang begitu tenang, santai dan dewasa sedikit meninggalkan kesan positif bagi Arimbi. Dalam hati Arimbi langsung memainkan ulang kondisi tersebut dengan dia dan Rhaga yang berada di posisi itu. Arimbi kemudian tersenyum membayangkan reaksi lelaki itu__Rhaga yang juga mudah emosi versus reaksi Dhika yang begitu tenang. Dua pribadi berbeda yang meninggalkan kesan yang berbeda bagi Arimbi.

Setelah semua kegiatan mengajar selama dua hari selesai, Arimbi, Clara dan Adhika yang pada saat itu bertugas di desa yang berbeda akan melanjutkan perjalanan mereka untuk mengeksplor keindahan Pulau Sumba seperti rencana mereka sebelumnya, kebetulan bergabung juga bersama mereka dua orang rekan mereka yang kebetulan mengikuti kegiatan di Sumba kemarin. 

Permasalahan muncul ketika cuaca hujan badai melanda desa-desa tempat kami bertugas, sehingga jadwal keberangkatan mobil yang tadinya akan mengangkut Arimbi dan Clara ke kota untuk bertemu dengan Dhika menjadi tidak jelas kedatangan dan keberadaannya. Kebetulan Arimbi dan Clara bertugas di desa yang berdekatan sehingga bisa dijangkau dengan menggunakan motor pemilik penginapan. 

Dari situ Dhika dengan sangat jelas menginstruksikan Arimbi dan Clara untuk melakukan ini dan itu, mengarahkan mereka berdua untuk menemui salah seorang temannya untuk ikut ke kota untuk bertemu dengannya. Semua instruksi itu diberikan dengan jelas, bahkan ia juga menenangkan dan memastikan bahwa kedua wanita itu akan tiba dengan selamat di meeting poin mereka di kota. Arimbi dan Clara, dua wanita yang sama-sama harus diarahkan, terlebih bagi Arimbi, berada di desa antah-berantah dalam kondisi cuaca yang tidak kondusif, dia benar-benar ketakutan namun tetap berusaha kuat dan pada saat itu ia benar-benar bergantung pada arahan seorang Adhika.

Sesampainya di kota dan berkumpul dengan Dhika dan dua orang lainnya, Arimbi merasa lega hingga ingin menangis. Menangis bahagia karena akhirnya ia bisa keluar dari desa dengan kondisi selamat dan salah satunya adalah atas bantuan Dhika. Ini adalah hal kedua yang membuatnya kagum dengan sosok Dhika, seorang yang bisa memimpin, mengarahkan dan menjadi andalan di saat genting dan di saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan. 

Selama delapan tahun bersama dengan lelaki di masa lalunya itu, rasanya hampir tidak pernah Arimbi merasakan kenyamanan akan bergantung dan dipimpin oleh orang lain, bukan karena tidak pernah berada di kondisi seperti itu, tapi lebih pada karakter berbeda yang dimiliki oleh kedua lelaki itu. Arimbi menyadari bahwa yang Ia butuhkan adalah seseorang yang kuat yang mampu memimpin dan diandalkan dalam kondisi apapun. Bagi Arimbi, kemandirian dirinya bukanlah alasan untuk membenarkan bahwa Ia mampu bersanding dengan seseorang yang  tidak kuat.

Kehadiran setiap orang dalam hidup kita itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan, semua itu terjadi atas izin dan rencana Allah. Begitupula pertemuan Arimbi dengan seorang Adhika yang mengajarkan banyak hal pada Arimbi, yang juga menyadarkan Arimbi bagaimana seorang lelaki seharusnya bersikap dan bagaimana karakter yang harus dimiliki seorang lelaki sesungguhnya dan tentang apa yang sebetulnya dbutuhkan oleh Arimbi.