Health Issue
Travel
Thoughts
Review

Anticipating Toxic Success - Wealth Wisdom 2019

By hanaumiya - 12 October 2019

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti rangkaian acara Wealth Wisdom 2019 yang diadakan oleh Bank Permata. Acara yang berlangsung di The Ritz Carlton Pacific Place selama dua hari ini mengusung tema "Mindfully Healthy in the 21st Century" dan juga merupakan event kesehatan holistik terbesar di Indonesia. Menempati enam ballroom berbeda dengan enam tema yang luar biasa menarik mampu menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat. 

Kebetulan saya hanya bisa bergabung di hari kedua, karena saya ingin join di kelas Adjie Santosoputra dan Reza Gunawan yang termasuk di kelas Mindful / Jeda Wellnest Stage. Untuk sesi Mas Adjie, sebetulnya sebelumnya saya sudah beberapa kali mengikuti kelas yang beliau adakan jauh sebelum beliau join di Jeda Wellnest, dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan saya dengan dunia meditasi dan mindlfulness. Oleh karena itu, saya begitu excited untuk mengikuti kelas beliau lagi kali ini. Namun sayang sekali, siang itu saya terlambat datang sehingga kelas sudah cukup penuh sehingga akhirnya saya memutuskan untuk melihat-lihat ke arena lain sambil menunggu sesi Reza Gunawan dimulai. 

Reza Gunawan adalah salah seorang praktisi kesehatan holistik yang sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia kesehatan holistik, kalian bisa baca lebih jauh tentang kesehatan holistik di sini yaa.. Ini adalah kali pertama saya mengikuti kelas singkat beliau, karena sebelumnya saya mengikuti beliau via youtube atau instagram saja dan itu yang kemudian membuat saya begitu ingin untuk mencoba mencari tahu tentang kesehatan holistik ini. 

Mengangkat judul "Anticipating Toxic Success", Mas Reza mengingatkan bahwa terkadang kita mengorbankan banyak hal ketika kita mencapai suatu kesuksesan, misalnya terganggunya kesehatan karena mungkin kita memaksa tubuh kita untuk bekerja di luar limitnya, atau bahkan merenggangnya hubungan kita dengan keluarga, teman atau pasangan karena sebagian besar waktu yang seharusnya dihabiskan dengan orang-orang tersebut kemudian 'dijajah' oleh kesibukan kita dalam mencapai kesuksesan.

Sangat menyentil memang, terutama bagi para peserta yang mayoritas mungkin adalah pekerja kantoran yang tentunya sudah sangat akrab dengan keletihan, kesibukan dan stress. Di luaran sana tentu sudah banyak artikel atau kelas-kelas yang memberi hint tentang cara untuk menjadi sukses, namun apakah banyak di luaran sana yang juga mengingatkan kita untuk 'menyadari' limit dari diri kita masing-masing?

Saya tidak akan menulis detail tentang isi materi kelas Mas Reza kali ini, namun ada pembahasan menarik di dalamnya yang berkaitan dengan pertanyaan saya sebelumnya tentang kesadaran untuk mengenal diri sendiri, untuk mengetahui limit dari diri sendiri.

Semua berawal ketika saya mengenal dunia yoga tiga tahun lalu, melalui yoga saya belajar untuk mendengarkan tubuh saya, untuk dengan sadar mengikuti kemampuan tubuh dalam setiap gerakan yang dilakukan. Yoga tidak memaksa kita untuk mengikuti setiap gerakan sempurna dari sang instructor, melainkan mengajarkan kita untuk sadar seutuhnya akan setiap gerakan dan batas kemampuan diri kita-masing-masing. Menyadari setiap nafas dan gerakan agar fokus di sini kini.

Setiap orang punya limit tersendiri dalam berbagai hal, termasuk dalam keseharian. Kita terkadang bekerja keras, lembur, terus bekerja meskipun sebetulnya badan sudah sangat lelah, hingga tiba-tiba badan kita menyerah dan akhirnya tumbang. Kondisi ini yang diingatkan oleh Mas Reza sebagai tanda bahwa kita 'memerah' diri sendiri melewati limit yang dimiliki. Jika diibaratkan sebagai handphone, kita tau nih baterainya sudah mau lowbat dan perlu dicharge, tapi karena satu dan lain hal, kita tetap memaksa menggunakan hp tersebut hingga akhirnya hp itu mati total. Sekali, dua kali, tiga kali, mungkin hp itu masih baik-baik aja, tapi kalau keterusan diperlakukan dengan cara seperti itu, otomatis hp tersebut akan rusak. Nah, sama halnya dengan tubuh kita. Pesan pentingnya adalah agar kita belajar mengetahui limit diri kita sendiri dan tau bagaimana men-treat diri ketika hampir atau bahkan sudah mencapai limit tersebut.

Refleksi ke diri sendiri di luar soal kerjaan misalnya, saya pernah dihadapkan pada beberapa kondisi yang membuat saya belajar tentang pentingnya mendengarkan dan mengetahui 'limit' diri sendiri. Dulu jamannya masih baru mulai kerja, ajakan nonton midnight film selepas pulang kantor sering saya lakoni yang berarti saya baru sampai di rumah sekitar jam 1 atau jam 2 dini hari. Bagi saya yang sehari-harinya selalu tidur sebelum jam 10 malam hal ini tentu sangat mengubah jam tidur saya, dari awalnya yang cuma pusing-pusing sampai kehilangan fokus di kantor karena kurang istirahat, sampai pernah saya tepar dan masuk UGD karena sehabis nonton malah coba-coba order light coffee mint (yang akhirnya membuat saya bermusuhan dengan yang namanya coffee). Nah pada kondisi itu, sebetulnya saya tahu bahwa saya tidak bisa bersahabat dengan yang namanya tidur dini hari dan coffee, tapi karena pilihan yang saya pilih pada saat itu hanya mengindahkan kesenangannya saja tanpa memikirkan efek yang akan saya alami setelah menabrak limit yang saya miliki, akhirnya tubuh sayapun pada saat itu menyerah dan saya tumbang.

Dalam berinvestasi misalnya, investasi itu tidak melulu soal keuntungan, ada potensi kerugian yang selalu siap menerkam setiap investor setiap saat. Ketika kita memutuskan untuk mulai berinvestasi, kita sudah harus tahu berapa besar resiko kerugian yang mampu kita terima dalam investasi yang kita mainkan, yang artinya kita harus mengetahui dengan jelas di angka berapa kita mampu menerima kerugian tersebut dan tetap 'waras'.

Di sinilah pentingnya untuk mengenal diri kita sendiri, tau apa yang kita mau, tau apa yang kita rasa, serta sadar di titik mana kita mampu untuk terus melangkah dan juga di titik mana kita harus berhenti. Terkadang saya juga percaya dengan pepatah "what doesn't kill you makes you stronger", karena itu adalah salah satu penyemangat ketika kita menghadapi sesuatu yang berat. Tapi tetap saja harus pandai-pandai memilah mana yang harus kita force dan mana yang harus kita sudahi.



A Side of Me - World Mental Health Day 2019

Dalam rangka World Mental Health Day 2019 ini, gue menuliskan sesuatu yang belum pernah sekalipun gue tuliskan sejak blog ini berdiri. Poinnya bukan tentang kisah gue, tapi tentang kesadaran akan kesehatan mental, and here we go!

Cerita kecengengan gue yang ngga pernah orang tau dan mungkin ngga satu orangpun bakal nyangka gue adalah anak yang secengeng itu. Beberapa minggu lalu, gw berkesempatan ikut training soft skill yang emang gue tertarik banget, namanya training NLP__yang nanti bakal gue tulis lebih lanjut soal isi traniningnya. Nah kebetulan saat itu ada salah satu peserta traning yang orang tuanya juga alumni dari training ini. Singkat cerita, tiba-tiba di hari terakhir training tepatnya di minggu kedua dari training itu, Bapaknya anak ini (Om K) datang ngejemput. Nah pas salah satu coach itu liat ada si Om K ini dateng langsunglah disapa dan diizinkan masuk ke ruangan untuk duduk di sisi belakang kelas. Sedikit cerita, ambiance training ini bener-bener santai, ngga seformal training-training pada umumnya, bahkan banyak alumni yang memang sengaja datang di hari H training sekedar untuk bersilaturahmi dengan coach dan rekan alumni lainnya setelah sesi training selesai. 

Balik lagi ke momen ketika si Om K akhirnya masuk, menghampiri anaknya dari belakang cuma untuk mengecup kening putrinya sekedar memberitahu keberadaannya pada sang putri. Dan gue yang kebetulan duduk tepat di samping anak tersebut, sekuat tenaga menahan mata gue yang mulai panas yang kalau ngga dikontrol bisa banjir air mata seketika. 

Apa yang bikin gue terharu lebay begitu? Gue bener-bener rindu rasanya disayang sama Bapak! Memang ketika beliau masih ada, hubungan kami tidak semesra itu, peluk dan cium pun paling cuma pas maaf-maafan di hari lebaran, tapi gue bisa merasakan betapa besar sayangnya beliau ke gue, betapa beliau mengisi porsi yang begitu besar dalam hati dan hidup gue (yaiyalah yaa.. namanya juga anak ke orang tua) dan gue merasa secara emosional sampai saat ini ada momen di mana gue masih belum bisa mengontrol perasaaan gue soal keberadaan beliau yang emang udah ngga di sini. 

Sesimple ketika gue ngelewatin sebuah masjid, kadang gue masih suka jelalatan kalau ngeliat serombongan jamaah masjid bubaran setelah sholat. Dalam hati kecil gue masih berharap bisa ngeliat beliau berada diantara para jemaah itu. Atau ketika sholat tarawih / sholat Ied di masjid, gue masih sering curi pandang ke tempat jemaah lelaki karena entah kenapa gue ngerasa kalau beliau ada di tengah-tengah sana. Well, mungkin banyak orang yang mikir kalau gue ngga waras dengan melakukan hal semacam itu dengan harapan yang udah pasti ngga mungkin kejadian. Itu cara gue melampiaskan kekangenan gue, selain dengan ngunjungin makam beliau.

Dulu tuh ya waktu beliau baru-baru meninggal, gue sempet benci sekaligus takut sama masjid (Astagfirullah, maafin hamba ya Allah), karena apa? Masjid itu adalah salah satu tempat di mana si Bapak paling banyak menghabiskan waktu selama hidupnya selain rumah dan sekolah, saat itu yang ada dipikiran gue setiap mau masuk masjid adalah gue gak bakal sanggup ngebayangin kalau si Bapak pernah terbujur kaku disholatin di tengah-tengah masjid, meskipun gue tau banget kalau kejadian itu bukan di masjid-masjid yang gue kunjungi saat itu, but the trauma was still there at that moment. 

Pernah ya dulu, gue berantem sama salah satu oknum dalam hidup gue perkara masjid ini. Suatu hari kita mampir ke satu masjid untuk sholat Magrib karena kebetulan waktu itu udah hampir masuk waktu sholat Isya. Pas sampai di depan masjid, gue mematung gak masuk ke masjid sama sekali sampai akhirnya adzan Isya berkumandang dan artinya waktu sholat Magrib udah habis dong yaa (Astagfirullah yaa Allah, dosa banget hamba!). Tapi sejujur-jujurnya, berdiri di depan masjid aja gue udah gemetaran, gimana bisa gue masuk ke dalam dan sholat dengan khusuknya coba?! Nah, si oknum ini tanpa babibu dan tanpa nanyain what's exactly goin on with me, doi malah marah-marah menganggap gue seakan menggampangkan yang namanya sholat. Emang sih saat itu gue gak langsung cerita alasan gue, bahkan seinget gue sampai doi lenyap dari hidup gue pun gue sama sekali ngga pernah cerita hal ini.

Tumbuh besar sebagai daddy's little girl yang selalu ditunjukin dan diarahin apa yang harus lo lakuin, yang selalu kasi tau lo apa yang emang baik buat seluruh pilihan hidup lo, tanpa pernah nyiapin diri bahwa lo akan kehilangan dia dan tanpa pernah berpikir bahwa lo bakal strugle sendirian di masa-masa terberat lo dalam ngejalanin hidup, it's very hard Babe! Itulah yang gue rasain. Gw terlalu terbiasa diurus, terbiasa diatur dan terbiasa berada di bawah naungan beliau dan ketika beliau pergi, secara psikologis gue bener-bener rusak dan sekarang gue masih berusaha to fix it. 

Kenapa gue cerita ini? Gue cuma mau share bahwa luka kehilangan yang mungkin selama ini kita pikir udah sembuh, yang kita pikir udah bisa kita terima dengan ikhlas dan lapang dada, ternyata ngga semua benar-benar sudah pulih dan banyak orang yang sebetulnya mungkin terus denial dan pretend bahwa mereka baik-baik saja. Dan itulah gue enam tahun lalu tahun lalu.

Ketika kita kehilangan orang terpenting dalam hidup kita, dalam hal ini ketika si Bapak dipanggil oleh Sang Empunya Hidup, para pelayat yang datang pasti selalu bilang ke keluarga yang ditinggalkan "untuk mengikhlaskan, untuk kuat, dan untuk bersabar" bahkan di setiap ucapan bela sungkawa dan doa yang disampaikan oleh mereka akan ada kalimat "semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan". Bahkan saat itu gue sampai udah ngga mau denger lagi semua yang diampaikan oleh orang-orang itu karena saat itu gue tau bahwa semua ngga akan semudah itu! Well, untuk menghikhlaskan itu butuh proses, dan akan membutuhkan waktu yang ngga sebentar.

Less than a year setelah si Bapak meninggal, gue dengan pedenya men-declare merasa bahwa selama ini gue sudah baik-baik aja, gue udah ikhlas dan berusaha menyesuaikan diri dengan ketidakberadaanya beliau, gue saat itupun merasa berhasil bertahan dan menjalani hidup normal seperti sebelumnya.

Tapi tiga tahun lalu, ketika kebetulan gue dikasih cobaan manis lagi sama Allah, gue berusaha menyembuhkan diri dari semua masalah itu dengan berbagai cara self healing yang ternyata menjadi awal perkenalkan gue dengan dunia meditasi dan mindfullness. Ketika awalnya tujuan gue melakukan self healing ini adalah untuk menyembuhkan diri dari masalah yang gue hadapi, namun di situlah justru akhirnya gue menemukan dan menyadari bahwa sebetulnya luka yang dihasilkan dari masalah itu bukanlah hal yang membuat gue sebenar-benarnya terluka. Luka terbesar yang membuat gue merasa seakan hancur dan stress justru adalah karena luka kehilangan si Bapak yang belum sempat disembuhkan sepenuhnya kemudian ditambah lagi dengan munculnya masalah-masalah baru yang pada akhirnya menggunung dan membuat gue hampir meledak dan hilang arah.

Nah, dari situ gue tau apa dulu yang harus gue lakuin, gue diajak sadar untuk menyembuhkan luka itu, diajarin untuk menerima, dan diajakin untuk mengikhlaskan beliau, juga mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Memang proses itu ngga instan, dari saat itu hingga sekarangpun gue masih belajar setahap demi setahap namun gue bisa merasakan perubahan itu dalam diri gue. Yahh meskipun tetap aja ada momen emosional di sekitar gue yang secara sengaja atau tidak bisa membangungkan memori dan memicu pergolakan emosi gue secara tiba-tiba, tapi at least ketika emosi itu muncul gue bisa segera menyadari dan mengontrolnya.

Cerita ini tanpa maksud untuk merasa hebat atau bahkan kisah yang butuh dikasihani, sama sekali bukan. Ini cuma sedikit cerita yang gue pikir mungkin banyak dialami oleh banyak orang di luar sana, tapi mungkin ngga banyak yang mau mengakuinya. Awalnya sulit bagi gue, jangankan untuk menulis di blog, untuk bisa mengakui bahwa gue sakit, bahwa gue terluka even sekedar dengan cerita ke sahabat-sahabat gue aja rasanya susahhh banget. Tapi ya itu tadi, dengan pengalaman self healing yang udah gue jalanin, tersadar bahwa kenapa harus malu kalau orang lain tahu bahwa lo terluka, bahwa lo sakit, itu bukan hal yang perlu dielakkan tho. Semakin dipendam ya gue semakin sesak sendiri dan mungkin gue bisa ngga waras dong. Yang ada di pikiran gue saat itu adalah gue sama sekali ngga mau peduli sama orang-orang di luar orang terdekat gue yang cuma bisa ngejudge atau berkomentar babibu tanpa mereka tau apa yang sebenarnya terjadi sama gue.

Nah, pesan sponsor dari tulisan ini adalah buat kalian yang memang merasa sakit, merasa butuh numpahin segala sakit lo, atau mungkin bagi lo yang emang merasa udah ngga sanggup handle masalah lo sendiri dan butuh bantuan profesional, yuk mulai sayangi dirimu, datangi profesional jika dibutuhkan. Jangan pernah malu untuk datang ke profesional cuma karena takut dinilai 'sakit jiwa' sama orang-orang yang emang masih awam dengan dunia ini. Yang penting lo bisa sadar, lo mindfull sama setiap emosi dan rasa yang lo sendiri rasain, itu udah jadi awal yang bagus banget. Lakuin ini bukan untuk orang lain, tapi buat diri lo sendiri, kita semua berhak sembuh dan hidup dengan bahagia, tanpa luka, Dears.

Luka yang ada dalam diri kita itu yaa cuma diri kita sendiri yang bisa nyembuhin. Jangan pernah berharap bahwa luka lo bisa disembuhin oleh orang lain, kecuali emang luka lo ya luka fisik yang bisa disembuhin sama dokter. Tapi kalau luka batin, ya cuma diri lo sendiri yang bisa sembuhin. Sama konsepnya dengan kebahagiaan, kita ngga bisa membuat orang lain bertanggung jawab untuk bikin kita bahagia, bahagia itu ya kita kita sendiri yang menciptakan, orang lain hanya melengkapi.