Health Issue
Travel
Thoughts
Review

Kenapa Menulis Blog?

By hanaumiya - 24 November 2018


Menulis bukan hal yang asing bagi saya, sejak kecil saya sudah terbiasa untuk menyampaikan sesuatu dalam bentuk tulisan, baik itu berupa cerita keseharian, curahan isi hati maupun berupa puisi ala-ala yang hanya berbekal kosakata minim pada saat itu. Tidak terhitung berapa banyak buku diary yang sudah saya tuliskan sejak saya masih SD hingga kuliah sebelum akhirnya beralih ke blog sebagai penyalur kegemaran saya menulis. 

Bagi saya, menulis adalah proses menerjemahkan isi pikiran dan isi hati dalam rangkaian kata-kata. Terkadang ketika isi pikiran masih mess up, saya terbiasa menggunakan teknik menulis untuk merumuskan satu persatu apa yang ada di pikiran saya tentang satu atau beberapa hal. Setelah selesai, kemudian saya membaca kembali tulisan tersebut dan berusaha untuk menyusun puzzle atas hal tersebut melalui panduan dari apa yang telah dituliskan tadi.

Dalam menulis blog misalnya, ketika sudah memiliki tema, foto serta konsep yang sudah sangat kompleks dalam benak, maka biasanya saya langsung menuliskan setiap potongan content yang muncul dalam pikiran saya terlebih dahulu, setelah itu saya akan membacanya kembali dan membongkar-pasang susunan atau isi content agar sesuai dengan tema yang ingin saya sampaikan. 

Pada tahun 2016 itulah pertama kali saya mulai masuk ke dunia blogging, berkat ajakan dan bantuan luar biasa dari sahabat saya yang kini juga menjadi partner bisnis inilah kemudian blog hanaumiya.com bisa menjadi seperti ini penampakanannya, many thankss for my babybalabalaa n-journal.com yang sudah banyak berjasa dalam dunia blogging saya, hehe :)

Melalui blog, saya bisa menulis pengalaman yang kelak bisa saya baca kembali entah sebagai pengingat atau hanya sekedar untuk napak tilas semua yang pernah saya lakukan pada masa itu. Barangkali sedikit yang saya tulis itu bisa bermanfaat bagi orang lain termasuk tentang sharing pengalaman kegiatan volunteer, traveling, hingga berbagai kegiatan atau kelas workshop yang pernah saya ikuti. Melalui blog juga, saya bisa mengemukakan pendapat saya tentang hal-hal dari sudut pandang saya sebagai individu. Dari situlah kemudian ketertarikan dengan dunia penulisan ini menjadi semacam nadi yang menempel pada diri saya. Menulis seakan menjadi hal wajib yang rutin harus dilakukan, dan hebatnya menulis itulah yang kemudian menjadi salah satu sarana hiburan yang produktif yang pernah saya lakukan.

Perbedaan mendasar antara menulis di blog dengan memulis di buku harian terletak pada publisitas. Tulisan yang tadinya hanya bisa dibaca secara personal dalam bentuk hardcopy buku diary oleh diri sendiri, kini melalui blog tulisan tersebut bisa dibaca oleh orang lain dalam konteks yang sangat luas melalui jaringan internet. Dengan demikian tidak semua hal bisa dengan mudahnya dipublish untuk umum. Kini tulisan tidak hanya sekedar asal ketik langsung publish dan tidak pula tanpa berpikir langsung publish. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menulis dan mempublish sebuah tulisan dalam blog. Seperti pertimbangan apakah hal yang akan ditulis ini pantas atau tidak, apakah hal yang ditulis ini bisa bermanfaat atau tidak, dan apakah tulisan ini akan menyinggung orang lain atau tidak.

Pertimbangan ini tidak lantas membuat saya tidak menjadi diri sendiri dalam menulis, bukan berarti berusaha menjaga image dengan memilah tulisan dan bahasa, sama sekali tidak. Semua ini lebih kepada satu hal yang menjadi tujuan saya dalam menulis, yakni asas kebermanfaatan dalam setiap tulisan yang saya hasilkan. Dalam suatu kesempatan kajian saya diingatkan untuk terus berusaha mengumpulkan amal jariyah dan menjauhi dosa jariyah. Nah, melalui blog ini salah satunya saya sedang berusaha agar apa yang saya tulis sedikitnya bisa bermanfaat bagi orang lain, jikalaupun tidak, jangan sampai tulisan-tulisan saya di sini justru menjadi dosa jariyah bagi diri saya yang akan membawa mudhorot bagi orang lain. 



#30daysblogging


Maaf Terindah

By hanaumiya - 3 November 2018


Arimbi

Singapura di bulan December memang selalu menarik untuk dikunjungi, tak terkecuali oleh Arimbi. Suasana natal di negeri ini sungguh hangat terasa, berbagai jenis pohon natal dan lampu-lampu dalam berbagai bentuk menjadi daya tarik sendiri bagi bagi mereka yang ingin merasakan kemeriahan December tanpa perlu bertandang jauh dari Indonesia. Orchad Road dan di sepanjang jalan sekitar Hotel Fullerton menjadi tempat favorit Arimbi untuk menghabiskan waktu sekedar untuk berjalan kaki ataupun mencuci mata selama di Singapura.

Langit malam kali ini begitu indah, bulan bersinar terang ditemani oleh bintang-bintang yang menari indah di tengah hamparan langit hitam. Pertunjukkan air mancur dan laser di depan Marina Bay Sands melengkapi keindahan malam itu, malam di mana Arimbi akhirnya untuk pertama kali merenungkan segala yang terjadi satu tahun belakangan, pertama kali menjauh dari semua orang yang terlibat dalam perjalanan hidupnya selama satu tahun silam.

Arimbi duduk manis menikmati pertunjukkan air mancur yang menari lincah mengikuti alunan musik dan sinar laser yang tidak kalah menakjubkan tersugu indah di hadapannya. Semua mata tertuju pada pertunjukkan di depan mata mereka masing-masing, ada yang berdecak kagum namun adapula yang memandang dengan sangat biasa. Hingga pertunjukkan selesai dan orang-orang mulai meninggalkan tempat itu untuk kemudian masuk ke Marina Bay Sand Mall atau bahkan berjalan kaki menuju sudut lain untuk menikmati Singapura di malam hari. Namun Arimbi tetap duduk manis di titik itu, memandang ke depan, lalu ke langit, menikmati setiap detik rasa damai dan tertram yang muncul dalam hatinya.

"Kamu apa kabar Mbi?" tanya Rhaga ragu-ragu sambil menatap gadis di hadapannya.
"Alhamdulillah baik, Kamu gimana kabarnya?" Arimbi bertanya balik kepada Rhaga. Itu adalah pertemuan pertama mereka setelah empat bulan lalu hubungan mereka berakhir. Terasa canggung bagi keduanya untuk memulai percakapan di tengah suasana coffee shop yang sangat cozy diiringi musik instrumental di bilangan Senopati.
"Seperti yang kamu lihat Mbi, Aku baik" jawaban menggantung yang Arimbi sadari bahwa kondisinya mungkin tidak sebaik yang terlihat dari wajahnya.

Seminggu yang lalu Rhaga berusaha menghubungi Arimbi untuk mengajaknya bertemu, namun Arimbi selalu menolak dengan berbagai alasan, karena dia merasa tidak perlu untuk bertemu lagi dengan lelaki itu, semua sudah berakhir dan hidupnya kini sudah baik-baik saja tanpa Rhaga. Tapi Rhaga terus mendesak karena Ia merasa ada yang masih perlu dibicarakan dengan Arimbi, hingga akhirnya Arimbi mengiyakan pertemuan itu di hari Jumat sepulang kantor. Awalnya Rhaga menawarkan untuk menjemputnya di kantor namun Arimbi menolak dan meminta langsung bertemu di tempat yang sudah dijanjikan.

"Kamu kelihatan gemukan Mbi dan you look so happy" Rhaga memulai percakapan dengan hati-hati
"Alhamdulillah sekarang aku udah gemukan karena olahraga, dan yeah aku happy banget dengan hidupku sekarang" Arimbi kaget mendengar ucapan Rhaga, dia takjub bahwa lelaki ini masih bisa memperhatikan detail dirinya. Karena memang benar berat badannya naik selama beberapa bulan ini.
"Aku ngga nyangka kamu seperti ini sekarang, aku senang ngelihat kamu seperti ini" timpal Rhaga sambil tersenyum simpul menatap Arimbi yang sedang menikmati hot chocolate kesukaannya.
"Memangnya kamu pikir aku bakal gimana? bakal frustasi dan kurus kerontang gitu abis kita putus?" jawab Arimbi sambil tertawa santai. Dia sama sekali tidak gentar dengan semua perkataan lelaki itu
"Ngga kok Mbi, aku percaya kamu ngga akan seperti itu" Rhaga berusaha menjelaskan

Kemudian suasana hening seketika, seakan mereka adalah orang yang baru kenal yang sedang kebingungan mencari topik pembicaraan. Arimbi menunggu Rhaga untuk membuka percakapan karena dialah yang meminta pertemuan ini, sedangkan Arimbi sendiri merasa enggan untuk membuka topik.

"Makasih ya Mbi kamu masih mau ketemu sama aku, aku pikir kamu bakal ngeblock nomor aku dan kamu bakalan benci banget sama aku" Rhaga tiba-tiba memecah keheningan sambil menatap Arimbi
"Hahaha...Ngga lah, aku bukan ABG yang bakal ngeblock nomor orang. Dan asal kamu tau Ga, aku ngga pernah benci sama kamu" Jawab Arimbi santai. Karena Ia yakin dalam hatinya tidak pernah sekalipun Ia membenci Rhaga, bahkan setelah semua tindakan paling jahat yang pernah dilakukan Rhaga kepadanya, rasa benci itu tak pernah ada.
"Jadi kamu ngajak ketemuan hari ini cuma untuk ini? kalau cuma mau minta maaf lewat telefon juga bisa Ga" tanya Arimbi
"Hmm, ngga cuma itu Mbi...aku datang untuk minta maaf atas nama Ibu aku ke kamu. Atas semua perlakuan Ibu ke kamu, atas semua perkataan dan tindakan beliau yang pernah membuat kamu sakit hati" Rhaga menundukkan wajahnya seraya malu akan perkataan yang keluar dari mulutnya
"Seminggu lalu Ibu sakit, meskipun kondisinya saat ini sudah membaik, aku merasa perlu minta maaf atas nama beliau ke kamu" Rhaga melanjutkan

Arimbi terdiam memperhatikan tiap kata yang keluar dari mulut lelaki di hadapannya, mulutnya terus berbicara, matanya terlihat lelah. Arimbi mengenal lelaki ini dengan sangat baik, Ia tahu pasti kapan lelaki ini bicara jujur dan kapan Ia berbohong, Ia juga tahu pasti bagaimana raut wajahnya ketika bahagia ataupun ketika sedang tertekan, dan Ia menyadari bahwa lelaki di depannya ini sedang bergulat dengan dirinya sendiri seakan kehilangan arah.

"Kenapa kamu yang minta maaf? kalau kamu tau Ibu yang ada salah sama aku seharusnya beliau yang minta maaf, bukan kamu" suara Arimbi terdengar datar

"Well, ngga mungkin juga lah ya beliau minta maaf sama aku, mau ditaruh di mana mukanya kalau  minta maaf sama aku, atau mungkin beliau sendiri justru ngga pernah sadar kalau ada salah sama aku" Arimbi melanjutkan dengan sedikit sarkasme. Dalam hatinya, masih teringat jelas semua rentetan kejadian yang dialaminya, semua kenangan buruk yang berkaitan dengan wanita itu, kata demi kata yang pernah keluar dari mulut seorang wanita bernama Ibu kepada anak gadis orang lain. Semua itu tidak mungkin bisa terlupakan oleh Arimbi. Namun Arimbi punya cara sendiri untuk berdamai dengan memori pahit itu.

"Mbi, maafin Ibu, Ibu juga hanya manusia biasa, beliau juga pernah melakukan kesalahan" suara Rhaga memohon kepada Arimbi. Dalam hati Ia mengakui bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ibunya saat itu sangat tidak bisa diterima, terlebih Ibunya adalah seorang pengajar agama yang seharusnya tahu betul bagaimana memperlakukan orang lain sesuai ajaran agama, bagaimana memandang orang lain tanpa menjudge mereka dari sudut pandang itu. Rhaga pun menyesali hal itu, tapi bagaimanapun wanita itu tetaplah Ibunya, sesalah apapun tindakannya, Ia harus tetap menghormatinya.

"Kamu mau aku jujur? Sebelum kamu minta maaf untuk diri kamu sendiri atau minta maaf atas nama Ibu, dari lubuk hati terdalam aku sudah memaafkan kalian. Aku sudah memaafkan semua yang pernah kamu lakukan ke aku, bahkan semua campur tangan Ibu dalam hubungan kita dulu sudah aku maafkan. Aku memaafkan bukan untuk kalian, tapi untuk diriku sendiri" Terang Arimbi
"Mbi.." Rhaga tercekat tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, sedangkan gadis di depannya begitu tegar mengungkapkan perasaannya.

"Perjuanganku untuk menyembuhkan luka ini tidak mudah, Ga. Aku hanya punya dua pilihan saat itu: terus membenci kamu dan Ibu atau justru memaafkan kalian. Jika aku memilih pilihan pertama, maka seumur hidup aku akan terus hidup berdampingan dengan rasa benci dan sakit hati karena kalian, aku tidak akan pernah bisa move on karena rasa benci ini terus bersarang dalam diriku dan aku rasa sangat tidak pantas membiarkan orang-orang yang pernah menabur luka untuk terus bersarang dalam hidupku meskipun dalam bentuk rasa benci. Oleh karena itu aku memilih untuk memaafkan kalian, bukan karena perbuatan kalian bisa dengan mudahnya dimaafkan, sama sekali bukan, karena aku sadar bahwa aku akan lebih cepat pulih dan bangkit setelah memaafkan kalian sehingga aku bisa melepas segala keterkaitan kalian dalam jalan hidupku kedepannya" Arimbi menjawab dengan sangat tenang.

"Mbi..." Lagi-lagi Rhaga tak bisa berkata-kata, takjub betapa Arimbi yang kini duduk di hadapannya berbeda dengan yang dikenalnya selama ini. Wanita di depannya ini begitu dewasa dan tenang, terlebih rentetan kalimat yang keluar dari bibir Arimbi mencerminkan transformasi dirinya yang begitu besar dalam waktu singkat.

Arimbi tertegun melihat bulir air mata keluar dari sudut mata Rhaga, lelaki di hadapannya ini masih sama seperti dulu, masih begitu rapuh. Disadari Arimbi bahwa ini bukanlah kali pertama lelaki ini menangis di hadapannya, namun kali ini Ia melihat betapa Rhaga kehilangan dirinya, Ia tersesat. Dalam hati Arimbi merenungkan bahwa mereka berdua sama-sama 'korban' dari jalan 'takdir' yang memilukan, 'takdir' yang dinamakan ujian. Yang membedakan adalah jalan apa yang dipilih oleh keduanya untuk sembuh dan melanjutkan hidup, yang pada akhirnya menjadi after effect dari ujian tersebut.

"Ga, terima kasih ya karena kamu sudah melepaskan aku" Arimbi tiba-tiba buka suara
"Tapi aku melakukan hal paling buruk ke kamu, Mbi" jawab Rhaga
"Justru aku berterima kasih atas 'kebrengsekan' kamu, kalau bukan karena itu mungkin aku ngga akan berada di titik ini" Arimbi melanjutkan. Suaranya mulai parau, Arimbi tersadar bahwa jika bukan karena apa yang telah dilakukan Rhaga padanya, mungkin Ia tidak akan mampu meninggalkan lelaki itu, Ia pun tidak akan merasa punya alasan yang kuat untuk melepasnya. Tapi nyatanya salah satu tindakan lelaki itulah yang justru mendorongnya untuk melepaskan dan meninggalkan Rhaga di lembah terdalam untuk kembali kepermukaan dan menemukan dirinya yang sempat hilang sekian tahun lamanya.



Memaafkan bukanlah tentang orang lain
Memaafkan juga bukan karena tindakan tersebut pantas dimaafkan
Memaafkan bukan pula berarti kamu lemah
Itu tentang dirimu sendiri
Itu tentangmu yang ingin mengikhlaskan dan melupakan tindakan bodoh tersebut
Itu adalah tentang kuatnya dirimu karena mampu memaafkan tanpa diminta
Karena maaf terindah bukanlah tentang orang lain, melainkan tentang dirimu
-Arimbi-

Your Happiness is Within You

By hanaumiya - 30 September 2018


Di pagi yang cerah, lantunan ayat suci Al-Quran menggema indah di salah satu ruang hotel di bilangan Jakarta Selatan.

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS.30 : 21)

Semua lantunan ayat dan tilawah tersebut menambah suasana sakral di acara akad nikah Theo dan Bianca, kedua sahabat Arimbi sejak di bangku kuliah. Tidak lama setelah itu prosesi akad nikah pun dimulai dengan pembacaan Syahadat bagi Bianca untuk kemudian meminta izin kepada orang tuanya untuk dinikahkan dengan lelaki yang dipilihnya. Momen seperti ini dalam acara akad nikah selalu berhasil membuat Arimbi terenyuh. Bukan hanya karena dalamnya kata-kata yang disampaikan oleh sang pengantin perempuan, namun juga tentang bagaimana seorang ayah akhirnya melepas sang putri untuk menjadi tanggung jawab orang lain yakni suaminya.

"Ga, ritual minta izin ini harus ada ya di setiap akad nikah? Boleh ngga kalau nanti pas nikah aku ngga usah minta izin seperti ini?" ujar Arimbi pada Rhaga ketika mereka menghadiri pernikahan seorang teman.
"Ngga bisa dong Mbi, Pak Penghulu pasti akan selalu meminta pengantin perempuan minta izin ke walinya" jawab Rhaga
Arimbi tidak bergeming, hatinya bergejolak membayangkan momen ini di pernikahannya kelak tanpa keberadaan sang ayah dan air matapun jatuh dari pelupuk mata Arimbi.
Rhaga tidak mengeluarkan sepatah katapun, Ia hanya menggenggam erat tangan Arimbi untuk menguatkan dan menenangkan Arimbi dengan caranya, Ia sadar bahwa wanita di sampingnya sedang tidak nyaman, dan kata-kata bukanlah yang kini dibutuhkan olehnya.

Itulah sekilas percakapan ketika pertama kali Arimbi menghadiri akad nikah bersama lelaki itu, dan momen minta izin pada akad nikah selalu menjadi momok tersendiri baginya.

Setelah kata 'SAH' terucap dari mulut sang penghulu, semua orang mengucap syukur dan ada rasa bahagia yang begitu besar membuncah dalam hati Arimbi. Betapa Ia merasa lega karena kedua sahabatnya kini sudah sah menjadi sepasang suami istri, Ia menjadi saksi pertemuan mereka, menjadi saksi perjalanan hubungan mereka dan kini Ia juga berkesempatan menyaksikan dan menjadi bagian dari hari bahagia mereka. Sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata namun jelas Arimbi menyadari bahwa ia sangat bahagia.

Sambil menikmati ritual adat Jawa yang dijalani oleh Theo dan Bianca, Arimbi berkelana dalam pikirannya, berusaha menyelami yang ia rasakan, tersadar bahwa begitu banyak hal kecil atau besar sekalipun yang bisa membuatnya bahagia. Menjadi saksi dari kebahagiaan orang-orang terdekatnya adalah salah satu sumber kebahagiaan yang dirasa olehnya. Arimbi menyadari bahwa bahagia itu tidak melulu harus karena Ia yang menjadi objek penerima kebahagiaan, melalui hal ini misalnya, Ia bisa merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh kedua sahabatnya, dan baginya itu sangat berarti.

Sama seperti menjadi volunter pengajar misalnya, pernah sahabatnya mempertanyakan tentang hobi unik Arimbi
"Mbi, emang kamu ngga cape ya ngajar-ngajar gitu?"
"Mendingan kamu hangout atau tidur sekalian Mbi daripada ngajar begitu"
"Kamu kan ngga dibayar, emang ngga rugi ya ngajar gratis gitu?"
 "Transport kamupun bayar sendiri, kamu ngga sayang yah?"

Itulah beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan teman-teman Arimbi kepadanya. Mengajar adalah salah satu kesenangan bagi Arimbi, diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menjadi pengajar di YPAB misalnya, itu adalah salah satu kesempatan besar yang akhirnya mengubah pola pikir dan membuka mata Arimbi dalam memandang hidup.

Dibilang lelah ya pasti lelah, karena Arimbi harus menyiapkan materi sebelum mengajar, menempuh perjalanan ke tempat mengajar dan sebagainya, tapi lelah itu langsung menguap begitu saja ketika bertemu anak-anak dan melihat antusias dan semangat mereka dalam belajar. Melihat mereka dengan segala keterbatasan yang ada terus berusaha mengejar mimpi untuk memperbaiki taraf hidupnya dan inilah yang kemudian membuat Arimbi semakin jatuh cinta pada dunia volunteer. 

Dari sini Arimbi belajar bahwa bahagia itu sangat luas, kalau dulu Ia menjadikan orang lain sebagai poros kebahagiaannya, kalau dulu Ia bahagia asalkan orang yang dicintainya bahagia meskipun Ia sendiri terluka, dan kalau dahulu bahagia baginya adalah dengan mendapatkan segala yang diinginkan. Namun kini pemahaman itu berubah, bagi Arimbi bahagia adalah menjadikan dirinya sendiri sumber kebahagiaan, ketika ia bisa menjadi bagian dari kebahagiaan orang lain serta ketika Ia bisa memberi manfaat bagi orang lain. Hal yang tidak bisa tergantikan dengan berapapun materi yang didapat. Hal berharga inilah yang baru ditemukannya sejak Ia menekuni profesi sebagai volunteer tutor.


Your happiness in your own responsibility and choice, never blame others for your unhappines.Your happiness is in you -hnu

Menggadaikan Akhirat Demi Dunia

By hanaumiya - 29 September 2018


Sebagai manusia, adanya masa naik dan turunnya level keimanan dalam diri itu rasanya hal yang wajar dan pasti dirasakan oleh setiap umat beragama manapun di dunia ini. Terlahir dari keluarga muslim dan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim pada umumnya seperti sholat, mengaji, puasa serta bershodaqoh Namun apakah semua itu cukup untuk membuat seseorang masuk surga dengan mudahnya?

Pertanyaan yang jawabannya tidak mudah untuk dijawab. Ternyata, surga tidak semudah itu untuk dimasuki, jangankan hanya dengan melakukan kewajiban di atas, yang sudah melakukan ibadah ekstrapun belum tentu bisa masuk ke dalam 'sana' dengan segitu mudahnya. Tersadar dalam diri "wah, sombong banget gue selama ini, merasa semua ibadah yang gue lakuin itu udah cukup buat bikin gue masuk surga, kalau begitu surganya Allah murah banget dong" Astagfirullahaladziim..

Semakin dipikirikan, semakin tersadar bahwa ilmu agama saya toh ternyata sedangkal ini, okelah kalau dihitung pakai angka bisa dibilang sudah belajar agama islam sejak umur balita, tapi ya mbok kenapa setelah sekian puluh tahun ilmunya ya ngga tambah banyak juga, bahkan bisa dibilang stagnan. Kalah mungkin Kalau dibandingin sama keponkakan saya yang sekolah SDIT. Yaa Allah maluu banget..

Dulu tahunya kalau sholat lima waktu itu ya kewajiban kita sebagai muslim, lebih karena rasa takut kalau Allah akan marah kalau sampai saya ngga sholat. Tapi belakangan tersadar bahwa sholat yang dikerjakan ini sebetulnya ya buat diri kita sendiri, Allah sama sekali ngga butuh sama sholatnya kita, wong Allah Maha Besar, kita ngga sholatpun Allah sama sekali ngga rugi, justru kita yang sebetulnya merugi. Sadar ngga sih kalau momen sholat lima waktu itu sebetulnya adalah waktunya kita istirahat dari semua kegiatan dunia? Misal ditengah kerjaan yang lagi banyak-banyaknya, ada waktu Zuhur dan Ashar yang wajib dikerjakan, itu artinya Allah kasih kita kesempatan buat rehat sebentar, meninggalkan sejenak urusan dunia untuk beristirahat dalam sholat. Dan ternyata suara Adzan itu adalah lonceng istirahat yang Allah kasih ke kita untuk segera rehat dari urusan dunia dan menikmati me time bersama Sang Empunya Waktu.

Dulu kalau baca Quran misalnya karena mengejar target khatam dalam sekian waktu karena tuntutan tempat mengaji, atau menghafal Quran karena ada target hafalan dari sekolah. Tapi belakangan tersadar bahwa membaca Quran itu salah satu penenang hati, dan kalau lagi galau atau lagi bete terus baca satu-dua ayat aja rasanya sejuk banget. Nah untung dong yah, dibanding harus melampiaskan kemarahan kemana-mana, mending baca Quran, selain membuat hati tenang plus dapet pahala juga. 

Islam itu agama yang indah, ia tidak menyulitkan bahkan melindungi pemeluknya. Sesimple kenapa mengkonsumsi babi dan alkohol dilarang yang ternyata begitu banyak mudhorotnya bagi tubuh kita sendiri. Hal-hal kecil tentang islam yang mungkin kita merasa sudah tau sejak kecil, ternyata ilmunya begitu banyak dan ngga habis-habisnya buat dipelajari dan dicari tahu. Jangan hanya karena ingin ikut-ikutan hits di tengah teman-teman yang sedang party dan mengkonsumsi alkohol misalnya, lalu kamu jadi ikut-ikutan mencicipi dengan asas "kan cuma nyoba sedikit", atau kamu ingin dipandang menganut ajaran islam yang terbuka agar bisa diterima di lingkungan pergaulan yang berbeda lalu ikut-ikutan mencicipi makanan yang memang diharamkan. Naudzubillah.. Jangan tergoda dengan buaian dunia dears, jangan pernah menggadaikan akhiratmu untuk urusan dunia yang ngga ada secuil-cuilnya sama surganya Allah kelak, kita harus belajar dan percaya bahwa semua kesenangan dunia ini hanya sekedar perhiasan belaka dan hanya sementara. 

Tidak ada maksud menggurui siapapun dalam tulisan ini, justru ini reminder ke diri sendiri bahwa sebagai manusia yang diberi kelebihan akal dibanding makhluk lainnya, sebagai manusia yang diberi akses untuk belajar, sudah sepantasnya kita memanfaatkan semua sumber daya itu. Kalau konsep pahala dan dosa sudah dipahami, kalau konsep dunia dan akhirat sudah diyakini, maka seharusnya kini kita harus pandai-pandai dalam mempersiapkan diri untuk hidup dengan enak dan juga untuk mati dengan enak. Karena sesungguhnya di sanalah kita akan kekal. Jangan sampai di dunia (yang kita yakini hanya sementara ini) kita pontang-panting berusaha untuk mencari kehidupan yang enak dan nyaman, tapi kita lupa untuk juga pontang-panting menyiapkan bekal untuk kenyamanan kehidupan kita di akhirat kelak. 



"Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?" (HR. Muslim no.2868)

Wallahu A'lam Bishawab...

Kunjungan Singkat ke "Terracotta Army and Horses Museum" di Kota Xi'an

Ancient Wall di Xi'an
Xi'an merupakan ibukota dari Provinsi Shaanxi yang juga merupakan salah satu kota tertua di Cina dan yang kaya akan sejarah. Salah satunya adalah karena Xi'an pernah menjadi pusat pemerintahan banyak dinasti-dinasti Cina pada masa itu.

Tak ketinggalan di Xi'an pula terdapat situs bersejarah terbesar dari negeri Cina peninggalan zaman dinasti Qin ratusan tahun yang lalu. Adalah Emperor Qin Shih Huang Terracotta Army and Horses yang menjadi salah satu tujuan wisata terkenal dan menjadi salah satu destinasi sejarah bagi para wisatawan tidak terkecuali kami.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 13 jam dari Beijing ke Xi'an dengan menggunakan kereta, pagi itu pukul 8 kami sudah menjejakkan kaki di Xi'an Railway Station dan bersiap memulai short trip kami di kota ini. Hal pertama yang kami lakukan sesampainya di Xi'an Railway Station adalah mencari tempat penitipan koper selama one day trip kami hari ini. Setelah bertanya di Tourist Information Center, kami diarahkan untuk menitipkan barang di salah satu toko yang memang menyediakan jasa titip koper dengan hanya membayar 10 yuan per koper dan tidak perlu khawatir karena koper kami aman sampai akhir perjalanan kami di Xi'an. 

Untuk mencapai Terracotta Museum, dari Xi'an Railway Station kami menuju sisi kanan stasiun atau ke arah Timur hingga menemukan area parkir dan naik bus nomor 306 dan turun di pemberhentian terakhir. Biaya bus ini hanya 7 yuan dan dibayarkan di dalam bus, persis seperti metromini di Jakarta karena di bus ini juga ada kernetnya. Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan.
Dari tempat parkir bus menuju loket pembelian tiket
View pegunungan di sekitar lokasi Terracota
Line antrian pembelian tiket masuk
Sesampainya di lahan parkir, kami bergegas mencari loket pembelian tiket yang menurut pandangan saya, tempat wisata ini sangat tertata apik. Line antrian pembelian tiket diatur dengan sangat rapi beserta papan penujuk jalan dua bahasa yang sangat memudahkan bagi para wisatawan. Dengan membayar 150 yuan dan menunjukkan passport, tiket masuk Terracotta pun sudah ada di genggaman kami.
Tiket masuk 150 yuan
Emperor Qin Shih Huang Terracotta Army and Horses (秦始皇兵马俑 Qínshǐhuáng bīngmǎyǒng)adalah sebuah komplek pemakaman yang terdiri dari pahatan tanah liat yang berbentuk pasukan dari Kaisar Qin Shin Huang. Adanya pahatan pasukan ini dimaksudkan untuk turut dimakamkan bersamaan dengan jasad Sang Kaisar agar kelak bisa melindungi Kaisar di alam setelah kematiannya.

Ditemukan pertama kali pada tahun 1974 oleh petani lokal di distrik Lintong, Xi'an, Provinsi Shaanxi. Sejak saat itu pemerintah Cina dengan serius mulai melakukan pemugaran terhadap penemuan terbesar dalam sejarah Cina, dan tidak butuh waktu lama yakni pada tahun 1979 resmi dibuka Museum Qin Shih Huang Terracotta Army and Horses yang kemudian dikukuhkan menjadi salah satu Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Dari pintu masuk menuju situs ataupun museum ini kami harus melewati jalan yang cukup panjang dengan berjalan kaki, namun jangan khawatir karena perjalanan menjadi sangat menyenangkan berkat suguhan pemandangan pegunungan, bukit serta taman-taman yang begitu indah. Sungguh mampu menghilangkan rasa lelah berjalan kaki. Tidak sedikit wisatawan yang menggunakan kesempatan untuk berfoto di beberapa spot indah ini bersama rekan-rekan mereka. Namun bagi wisatawan lansia atau berkebutuhan khusus, tempat wisata ini juga menyediakan jalur shortcut beserta dengan feeder pengangkutnya. 

Hingga akhirnya kami tiba di depan pelataran museum. Ada beberapa bangunan di hadapan kami, menempati 3 sisi yang berbeda. Dan kami memutuskan untuk masuk ke dalam satu bangunan tepat di sebelah kanan kami. Di sanalah sejarah tentang Terracotta Army and Horses ini diceritakan dengan begitu jelas, mulai dari penemuan pertama di tahun 1974 hingga saat ini yang masih dalam tahap pengembangan dan perluasan yang memang digarap dengan serius oleh pemerintah Cina sebagai salah satu peninggalan terbesar sepanjang sejarah kedinastian Cina.






Setelah puas berkeliling dan menikmati sejaran Terracotta Museum ini, kamipun masuk ke bangunan utama yang berisi ribuan pasukan perang dan kuda perang. Terdiri dari tiga bagian utama yang menjadi highlight dari museum ini. Pit 1 berisikan ribuan pasukan perang yang menempati sebelas koridor utama. Pit 2 berisi ribuan pasukan perang beserta pasukan kuda, sedangkan Pit 3 berisi perwira tinggi dan kereta perangnya.

Pertama kali menyaksikan dengan mata telanjang keberadaan situs sejarah ini benar-benar membuat mata tercegang. Betapa tidak, sekian lama hanya menyaksikan keajaiban sejarah itu dalam bentuk visual baik dalam foto ataupun video, kini semua itu tergambar nyata di depan mata. Setiap pasukan, pengawal, bahkan pelayan Kaisar dibuat dengan sangat detail hingga menyerupai aslinya. mulai dari tatanan rambut hingga pakaian yang dikenakan, semua diperhatikan dengan begitu detail dan membuat kami tidak bosan melihat barisan demi barisan pahatan tanah liat yang tersaji di depan mata.

Landscape Emperor Qin Shih Huang Terracotta Army and Horses








Setelah puas berjalan mengitari semua bagian museum ini, kami duduk-duduk sebentar di taman yang ada di sekitar museum, sambil menikmati camilan yang kami bawa ditemani semilir angin yang begitu sejuk. Tempat ini begitu indah, terasa betul betapa pemerintah membangun dan mengembangkan museum ini dengan seriusnya. Mulai dari bangunan utama museum, taman, toilet bahkan tempat-tempat duduk disekitarnya, mudah-mudahan Indonesia kelak bisa memiliki tempat wisata dengan standart seperti ini.

Setelah puas duduk-duduk, kami kemudian bergegas keluar dari area museum menuju tempat menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Xi'an Railway Station. Kontras dengan perjalanan menuju museum, perjalanan meninggalkan museum menuju parking area, kami disuguhkan dengan berbagai toko makanan khas Xi'an, souvenirs serta toko-toko yang menyediakan jasa foto studio dengan mengenakan kostum kerajaan zaman dinasti Cina dahulu. Sehingga perjalanan panjang menuju parking area tidak begitu terasa membosankan.

Kami kembali menaiki bus yang sama dengan keberangkatan kami tadi pagi, setelah memakan waktu satu jam, kami sampai di Xi'an Railway Station yang kemudian akan membawa kami ke Kota Shanghai, kota terakhir yang akan kami jelajahi pada China Trip kali ini.

One day Trip di Xi'an yang cukup berkesan, memang kami tidak sempat menjelajahi banyak tempat di Xi'an, dikarenakan keterbatasan waktu. Namun pesona Terracotta Army and Horses sudah mencetak sebuah memori tersendiri bagi saya, meninggalkan kesan yang dalam yang pada akhinya membuat saya semakin mengagumi sejarah dan budaya Cina yang begitu luar biasa indah dan megahnya.


Selamat Ulang Tahun Sahabat

By hanaumiya - 4 September 2018

Meski kini bukan jarak yang memisahkan
Meski kini bukan kata-kata yang kamu butuhkan
Namun satu yang tidak berubah
Yaitu aku masih di sini mengingat hari besarmu

Meski kini aku hanya bisa menemuimu dalam bentuk nisan
Meski kini raga ini tidak bisa menyapa dan memelukmu
Tapi satu yang masih  sama
Doaku selalu menyertaimu

Selamat ulang tahun sahabat terbaikku
Semoga kamu tenang dan bahagia di sana
Aku dan kami semua masih mencintaimu
Dan masih akan mengenangmu 

Rangkaian doa mungkin adalah kado terindah yang kau butuhkan
Tapi satu hadiah besar lain yang pernah ku janjikan
Yang kini mampu ku sampaikan
Ku bayar lunas di hari besarmu

Bahagia itu kini tak hanya sekedar janji
Bahagia itu terpampang jelas
Bahagia yang pernah kujanjikan
Kini ku suguhkan kontan

Terima kasih Sahabat
Kamu tidak di sini
Namun namamu masih terpatri
Dan jasamu selalu dikenang



When A Huge Fan of 'Gudai' Visits Forbidden City

By hanaumiya - 19 August 2018

A part of Forbidden City
Forbidden City atau yang dikenal dengan sebutan Palace Museum atau dalam Bahasa Cina disebut sebagai Gugong 故宫 (istana kuno) merupakan sebuah komplek kerajaan yang digunakan sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal kaisar Cina sejak masa Dinasti Ming hingga Dinasti Qing. Gugong merupakan salah satu mahakarya Cina yang menjadi simbol supremasi Kaisar Cina pada masanya. 

Sebagai fans berat 'Gudai', berkunjung ke Forbidden City menjadi pengalaman berharga bagi saya. Jika dibandingkan, mungkin ekspresi saya akan sama persis dengan reaksi anak-anak penggemar Disney Princess ketika berkunjung ke Disneyland. Setiap hall dan bangunan di dalam komplek Gugong ini menyimpan begitu banyak sejarah di dalamnya. Setiap bangunan berdiri kokoh dengan arsitektur Cina kuno yang begitu indah, artistik dan juga penuh makna.

Tumbuh besar bersama sekumpulan drama dan kolosal Cina yang berlatar kerajaan dan peperangan pada masa kedinastian, membuat saya merasa seperti berada di masa itu ketika pertama kali menjejakkan kaki di Forbidden City.

Bagi kalian yang mengenal Huan Zhu Gege_ sebuah drama Cina berlatar kerajaan pada masa dinasti Qing itu adalah salah satu alasan saya menjejakkan kaki di negeri ini. Meskipun setting drama tersebut tidak dilakukan di dalam Gu Gong, namun setiap sudut bangunan, hall dan juga taman dalam lakon tersebut termainkan ulang dalam benak saya lengkap dengan semua detail kerajaan Dinasti Qing. 

Kalau ada yang penah menonton film The Last Emperor Puyi, nah inilah sedikit potrait nyata beberapa adegan yang memang menjadikan Gugong sebagai tempat pengambilan gambar.

The Most Favorite Spot on The Forbidden City


龙椅  Lóngyǐ (Singgasana Naga)

Salah satu Hall di dalam Gu Gong




Salah satu bangunan di bagian belakang Gu Gung


Mengunjungi Forbidden City yang begitu luas memang cukup melelahkan, ditambah lagi jarak antara satu bagunan ke bagunan lain cukup jauh, serta bentuk bangunan yang kalau dilihat secara sekilas semuanya memiliki bentuk yang cukup mirip. Langkah demi langkah yang dijejakkan dari satu istana ke istana lainnya, dipisahkan oleh beberapa hall yang sangat luas. 

Bagi pecinta sejarah, setiap detail bangunan sangat menarik bagi saya, sesimple sepasang relief Naga yang menjadi simbol Kaisar dan Phoenix sebagai simbol Permaisuri. Semua detail itu menjadi satu hal yang dengan tidak bosannya untuk terus dilihat.

Tiket masuk ke Forbidden City 60 Yuan, bisa dibeli on the spot di depan pintu masuk, cukup menunjukkan passport dan membayar 60 Yuan kita bisa langsung masuk untuk mengeksplore Forbidden City. Tips untuk mengunjungi Forbidden City yang utama adalah memakai alas kaki yang nyaman karena penjalanan menyusuri tempat ini akan sangat panjang, pemakaian sepatu kets mungkin menjadi pilihan terbaik. Dikarenakan kami berkunjung ke sana di bulan Mei which is notabene terik mataharinya masih lumayan panas, membawa payung menjadi salah satu pilihan cerdas, sisanya tinggal siapkan tubuh yang fit untuk mengeksplor mahakarya terbesar kebanggaan Negeri Tirai Bambu ini.

Ini adalah salah satu kegiatan napak tilas kami di Cina, setelah The Great Wall, Tiananmen Square, dan Forbidden City, masih banyak tempat dan kisah tentang Cina lainnya yang akan saya tuliskan di sini, see you on the next story! :)

Tentang Dante

Angin sejuk membelai rambut hitam Arimbi yang sedang duduk manis di salah satu sudut cafe favoritnya. Jemarinya menari lincah di atas keypad laptop sambil sesekali menyeruput hot chocolate. Arimbi yang terlihat hari ini sangat berbeda dengan Arimbi dua tahun lalu. Terlihat begitu tenang, percaya diri dan aura bahagia terpancar jelas dari garis wajahnya.

Hatinya kini sedang berbunga karena satu alasan, kehadiran Dante. Seorang teman yang membuatnya percaya bahwa ia masih memiliki rasa dan seorang yang dari sosoknya bisa mengajarkan banyak hal dalam hidup Arimbi saat ini.

"Mbi, kamu selesai ngajar jam berapa? Aku sekarang masih di Sency, kamu langsung nyusul ke Union yah" Suara Leidy terdengar dari seberang telefon
"Ini aku baru selesai Lei, Okay see you there!" jawab Arimbi

Tidak butuh waktu lama bagi Arimbi untuk tiba di Union untuk menemui sahabatnya itu.

"Hi Lei, udah lama nunggu ya? tadi macet banget" ujar Arimbi
"Ngga kok Mbi, santai aja, kan kita masih nunggu Manda juga di sini" sahut Leidy
"Lei, gw duluan yah, masih ada janji ketemu orang lagi" Suara laki-laki dari sekelompok meja sebelah berpamitan kepada Leidy

Arimbi merasa familiar dengan lelaki itu, tapi ia sama sekali tidak ingat kapan dan di mana ia bertemu dengan orang ini hingga tiba-tiba suara itu memecah keheningan Arimbi.

"Is she your buddy Lei? Rasanya kita pernah ketemu yah" ucap Dante 
"Ini Arimbi, best buddy gw dari dari jaman kuliah, kenalin Dan" ujar Leidy
"Hi, Dante " Dante mengulurkan tangan berkenalan dengan Arimbi
"Hi, Arimbi" sambut Arimbi

Begitulah awal pertemuan Arimbi dan Dante hingga akhirnya mereka menjadi teman sepermainan hingga hari ini.

Mengenal Dante dalam hitungan bulan, mengajarkan banyak hal pada Arimbi. Dante hadir sebagai seorang teman, datang tanpa pongah dengan sederet hal yang sebetulnya bisa disombongkan dari dirinya, dan dia datang dengan perangai yang berbeda yang belum pernah ditemui Arimbi selama ini.

Lebih dari satu tahun lalu Arimbi berkelana dengan dirinya sendiri, berusaha bangkit dan mencari jati dirinya yang pernah hilang, berusaha mengumpulkan kembali semua kepingan hati yang sempat pecah dan hancur. Pada titik itulah Arimbi sempat mengalami krisis kepercayaan akan keberadaan laki-laki baik di dunia ini, baik dalam bentuk teman ataupun pasangan. Namun Tuhan begitu baik, Ia selalu mempertemukan Arimbi dengan orang-orang baik, laki-laki baik yang sedikit demi sedikit mampu membuktikan kepada Arimbi bahwa laki-laki yang benar-benar baik itu sungguh nyata keberadaannya.

Kebetulan kantor Dante, Arimbi dan Leidy hanya bersebelahan, sehingga mereka seringkali menghabiskan waktu makan siang bersama.

Notifikasi Whatsapp masuk di handphone Arimbi.
Dante : Mbi, lunch dimana? bareng yok, ajak Leidy sekalian
Arimbi : Kantin kantor lo aja yuk, abis itu nongkrong Starbucks gimana?
Dante : OK, lunch time gw tunggu yah 

Seperti itulah mereka menghabiskan waktu makan siang, makan di kantin kemudian ngobrol santai. Hari demi hari berlalu hingga pertemanan mereka mencapai titik nyaman yang sudah sekian lama tidak pernah dirasakan Arimbi. Arimbi dua tahun lalu, tidak mudah untuk mengenal orang baru, tidak mudah untuk akrab dengan lelaki baru dan sangat sulit mencapai titik nyaman bersama orang di luar comfort zone nya. Tapi dengan Dante, semua berbeda. Dante hadir dan masuk dalam inner circle Arimbi secara perlahan, yang tanpa disadari berhasil bertahta di ruang yang telah lama kosong, ruang yang selalu dipagari tinggi-tinggi oleh Arimbi.

Bersama Dante, perlahan Arimbi menemukan kembali dirinya yang dulu, perlahan kepercayaan dirinya kembali, perlahan Iapun bisa membuka diri, berani berinteraksi dan berkomunikasi dengan caranya yang dulu, hangat dan ceria.

"Dan, somehow kok gue merasa kagum sama lo yah, lo tau betul apa yang lo mau, let say ngomongin kerjaan deh, lo hebat bisa tau kemana career path lo, apa passion lo dan lo punya mimpi besar yang wow banget" kata Arimbi pada Dante suatu ketika.
"Mungkin karena gue laki-laki dan sudah seharusnya gue seperti itu, mikir jauh kedepan. Dan menurut gue semua laki-laki di dunia ini juga berpikir seperti itu. Beda sama perempuan yang mungkin ngga sampai segitunya memikirkan karir, secara tinggal nunggu dipinang" terang Dante tersenyum

Arimbi terdiam mendengar jawaban Dante, Ia berkelana dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba lo ngomong gitu Mbi?" Dante merasa aneh
"Hahaha...ngga apa-apa, curious aja, tapi ngga semua perempuan ngga mikirin karir lho, kok kesannya perempuan tuh tinggal dijajakan sambil nunggu dipinang sih" jawab Arimbi menentang
"Hahaha bukan gitu Mbi, maksudnya kebanyakan perempuan jarang sampai mikirin karir harus gimana-gimana, tapi itu juga tergantung perempuannya juga sih" jelas Dante
"Terlepas dari gender laki-laki atau perempuan, ngga semua orang tau dan bisa menemukan passion serta arah mereka mau kemana, banyak yang justru hidup mengalir mengikuti kemana arus membawa" lanjut Arimbi
"Nah yang seperti ini biasanya mereka terjebak di comfort zone" jawab Dante
"By the way, memangnya semua laki-laki pasti punya pemikirian ke arah sana ya?" tanya Arimbi
"Well, lelaki normal harusnya pasti punya pemikiran kesana, tapi semua tergatung juga. Kalau lelaki go with the flow aja gimana gitu yah, kecuali dia memang dari keluarga yang udah berada mungkin itu juga oke sih" jelas Dante

"Dann, ngga apa-apa yah gue nanya-nanya dan ngomongin beginian, gw beneran pengen tau dari sudut pandang lelaki aja sih soal seperti ini" Arimbi menjelaskan kepada Dante
"Hahahaa Mbiii.. ngga apa-apa banget, cuma tumben aja agak berbobot diskusinya" canda Dante
"I've been there, kenal sama laki-laki yang selalu go with the flow for long time, dan ngedenger semua cerita lo belakangan ini jadi perspektif baru buat gue, dan gue bener-bener cuma mau tau dari sudut pandang yang berbeda." Arimbi menjelaskan
"So, menurut lo, kalau lelaki dari keluarga berada hanya go with the flow itu oke?" lanjut Arimbi
"Yup, secara dia cuma kerja sambilan, toh in the end dia bakal disupport oleh keluarganya. Cuma mungkin pola pikir dia akan berbeda dengan lelaki yang harus bisa survive sendiri" jawab Dante
"Hmm... berarti semua tergantung keadaan yah, ngga masalah seseorang mau mengejar karir atau just go with the flow, toh in the end tujuannya akhirnya adalah they can survive in term of material. I got the point" jawab Arimbi
"Yup, itu menurut pandangan gue yah Mbi, intinya kalau lelaki yang cuma go with the flow tapi hidupnya pas-pasan, itu berarti dia males" terang Dante sambil tertawa

Itu adalah salah satu dari beberapa hal yang dikagumi oleh Arimbi dari seorang Dante. Dante bisa menjawab segala keingintahuan Arimbi mengenai berbagai hal dengan cara yang sangat apik. Setiap pola pikirnya selalu menjadi bahan pelajaran baru bagi Arimbi, Arimbi seperti menemukan sesuatu yang baru yang begitu menarik untuk dicari tahu dan dipelajari melalui sosok Dante. Sikap dan pemikiran Dante yang sangat dewasa telah membawa warna baru dalam hidup Arimbi, Arimbi seperti diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat dan mengenal banyak lelaki baik di luar sana, Dante salah satunya. Lelaki yang bersebrangan dari segi pola pikir, sikap dan kedewasaan dari yang dulu pernah dikenal oleh Arimbi delapan tahun lamanya. Melalui sosok Dante, mata Arimbi kembali terbuka dan Ia mulai percaya bahwa ruang itu tidak pernah membeku, dan Arimbi memilih menikmatinya.




"Tuhan menitipkan pesan berharga pada setiap orang yang singgah dalam plot hidup kita, ini hanya tentang apakah kita mampu menangkap pesan itu atau tidak" -hnu

Tentang Adhika

By hanaumiya - 12 August 2018


"Mbi, besok gue jemput jam 05.30 yah, nanti gue telepon lo sebelum berangkat" Suara Dhika dari seberang telepon
"Ok kak, see you tomorrow yah, gue mau lanjut packing dulu" sahut Arimbi

Sedikit cerita tentang Dhika, kesan awal Arimbi melihat lelaki ini adalah sosok lelaki cheerful yang bisa dengan mudahnya bersikap dan berkata manis kepada perempuan, dan berdasarkan 'alarm keamanan' Arimbi, lelaki seperti ini adalah salah satu dari sekian jenis yang harus dihindari. Namun setelah berinteraksi dengannya, perlahan Arimbi mulai mengerti dan padangannya terhadap Dhika pun semakin berubah.

"Mbi, gue udah on the way ke rumah lo yah, lo udah siap?" Tanya Dhika
"Iya kak, gue lagi siap-siap, call aja kalau udah sampai yah" Jawab Arimbi

Pagi itu Arimbi dan Dhika akan ke Sumba untuk mengikuti salah satu kegiatan kerelawanan pendidikan yang sebelumnya juga sudah pernah mereka ikuti bersama yang juga menjadi awal perkenalan mereka. Dua orang anak manusia yang tergila dengan dunia volunter dalam dunia pendidikan. Dan kali ini mereka dipertemukan kembali dengan tujuan yang lebih jauh, yakni Sumba.

"Pesawat kita jam 09.30 kan yah? lama banget dong kita nunggunya?" suara Arimbi memecah keheningan
"Ya gak apa-apa, kita bisa sarapan santai dulu di airport sambil nunggu Clara" jawab Dhika. 

Sepanjang perjalanan, percakapan antara Arimbi dan Dhika berlangsung mengalir, keduanya saling menceritakan pengalaman masing-masing ketika awalnya mereka masuk ke dunia volunter ini, hingga akhirnya mereka tiba di Airport dan bergegas ke salah satu restaurant untuk sarapan pagi. Tanpa disadari ternyata sudah hampir boarding time, Arimbi, Dhika dan Clara bergegas ke check in counter untuk menitipkan bagasi Arimbi yang kebetulan membawa koper, sedangkan Dhika dan Clara hanya membawa backpack yang akan masuk kabin. 

Terkendala di check in counter, membuat mereka bertiga harus berlari menuju gate keberangkatan hingga last call dari petugas maskapai. Ini pengalaman pertama naik pesawat last call hingga digiring berlari menuju pesawat. Sesampainya di dalam pesawat, semua penumpang sudah duduk manis dan menatap mereka bertiga yang menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam pesawat. 

Sambil mengatur napas yang tersengal setelah berlari, mereka bertiga berusaha mencari ruang kabin yang kosong untuk menaruh backpack dan beberapa barang keperluan mengajar di Sumba nanti, namun tidak satupun dari mereka mendapati satu ruang kosong untuk menaruh barang.

"Maaf Bapak / Ibu, semua kabin sudah penuh, tidak bisa dimasukkan barang lagi" Suara seorang pramugari menghampiri kami

Saat itu Arimbi sudah mulai naik darah dan bersiap menyambar jawaban sang pramugari.

"Jadi barang kami gimana Kak?" Dhika berkata  dengan tenangnya kepada sang pramugari
"Mungkin bisa diletakkan di bawah kursi depan Bapak" Jawab pramugari
"Tapi ini banyak Kak, ngga akan muat" lanjut Dhika tenang
"Oh coba saya bantu cari ruang kosong di depan" Pramugari tersebut akhirnya membantu kami

Kalau saja tidak keduluan Dhika, mungkin Arimbi sudah mengeluarkan reaksi emosinya pada sang pramugari, mengingat karakter Arimbi yang saat itu masih mudah tersulut emosi, terlebih dalam kondisi lelah setelah berlari-lari. Namun reaksi Dhika yang begitu tenang, santai dan dewasa sedikit meninggalkan kesan positif bagi Arimbi. Dalam hati Arimbi langsung memainkan ulang kondisi tersebut dengan dia dan Rhaga yang berada di posisi itu. Arimbi kemudian tersenyum membayangkan reaksi lelaki itu__Rhaga yang juga mudah emosi versus reaksi Dhika yang begitu tenang. Dua pribadi berbeda yang meninggalkan kesan yang berbeda bagi Arimbi.

Setelah semua kegiatan mengajar selama dua hari selesai, Arimbi, Clara dan Adhika yang pada saat itu bertugas di desa yang berbeda akan melanjutkan perjalanan mereka untuk mengeksplor keindahan Pulau Sumba seperti rencana mereka sebelumnya, kebetulan bergabung juga bersama mereka dua orang rekan mereka yang kebetulan mengikuti kegiatan di Sumba kemarin. 

Permasalahan muncul ketika cuaca hujan badai melanda desa-desa tempat kami bertugas, sehingga jadwal keberangkatan mobil yang tadinya akan mengangkut Arimbi dan Clara ke kota untuk bertemu dengan Dhika menjadi tidak jelas kedatangan dan keberadaannya. Kebetulan Arimbi dan Clara bertugas di desa yang berdekatan sehingga bisa dijangkau dengan menggunakan motor pemilik penginapan. 

Dari situ Dhika dengan sangat jelas menginstruksikan Arimbi dan Clara untuk melakukan ini dan itu, mengarahkan mereka berdua untuk menemui salah seorang temannya untuk ikut ke kota untuk bertemu dengannya. Semua instruksi itu diberikan dengan jelas, bahkan ia juga menenangkan dan memastikan bahwa kedua wanita itu akan tiba dengan selamat di meeting poin mereka di kota. Arimbi dan Clara, dua wanita yang sama-sama harus diarahkan, terlebih bagi Arimbi, berada di desa antah-berantah dalam kondisi cuaca yang tidak kondusif, dia benar-benar ketakutan namun tetap berusaha kuat dan pada saat itu ia benar-benar bergantung pada arahan seorang Adhika.

Sesampainya di kota dan berkumpul dengan Dhika dan dua orang lainnya, Arimbi merasa lega hingga ingin menangis. Menangis bahagia karena akhirnya ia bisa keluar dari desa dengan kondisi selamat dan salah satunya adalah atas bantuan Dhika. Ini adalah hal kedua yang membuatnya kagum dengan sosok Dhika, seorang yang bisa memimpin, mengarahkan dan menjadi andalan di saat genting dan di saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan. 

Selama delapan tahun bersama dengan lelaki di masa lalunya itu, rasanya hampir tidak pernah Arimbi merasakan kenyamanan akan bergantung dan dipimpin oleh orang lain, bukan karena tidak pernah berada di kondisi seperti itu, tapi lebih pada karakter berbeda yang dimiliki oleh kedua lelaki itu. Arimbi menyadari bahwa yang Ia butuhkan adalah seseorang yang kuat yang mampu memimpin dan diandalkan dalam kondisi apapun. Bagi Arimbi, kemandirian dirinya bukanlah alasan untuk membenarkan bahwa Ia mampu bersanding dengan seseorang yang  tidak kuat.

Kehadiran setiap orang dalam hidup kita itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan, semua itu terjadi atas izin dan rencana Allah. Begitupula pertemuan Arimbi dengan seorang Adhika yang mengajarkan banyak hal pada Arimbi, yang juga menyadarkan Arimbi bagaimana seorang lelaki seharusnya bersikap dan bagaimana karakter yang harus dimiliki seorang lelaki sesungguhnya dan tentang apa yang sebetulnya dbutuhkan oleh Arimbi.



The Venice of Shanghai

By hanaumiya - 18 June 2018


View From Fangsheng Bridge 放生桥
Hari pertama di Shanghai kami memutuskan untuk pergi ke Zhujiajiao yang banyak dikenal dengan sebutan "The Venice of Shanghai" karena banyaknya kanal dan jembatan yang melintang di kota ini. Dari pusat kota Shanghai,  Zhujiajiao bisa ditempuh dengan menggunakan subway dan memakan waktu 1-1.5 jam. Seturunnya dari subway, kami masih harus menyusuri jalan sekitar 30 menit untuk mencapai salah satu tempat wisata ini. Berjalan kaki menjadi menyenangkan karena pemandangan di sepanjang jalan sangat nyaman.

Zhujiajiao merupakan sebuah kota tua yang terletak di distrik Qingpu di sebelah selatan Sungai Yangtze. Berabad-abad yang lalu, Zhujiajiao merupakan area perdagangan karena banyaknya kanal yang digunakan untuk mengangkut barang. Namun kini Zhujiajiao menjadi salah satu tempat wisata yang cukup terkenal di Shanghai.

Salah satu jembatan batu terbesar, terluas dan tertinggi serta menjadi jembatan yang paling terkenal di sini adalah Fangsheng Bridge. Mulai dari anak tangga hingga jembatannya sendiri terbuat dari batu, sangat indah dan artistik. Dari atas jembatan kita bisa melihat perahu-perahu khas Cina berlayar indah beriringan membawa para turis yang ingin menikmati kanal di Zhujiajiao dari atas perahu. Dan bagi para pengunjung yang tidak ingin naik perahu, di sepanjang tepi jembatan ini juga ada banyak restoran sehingga para pengunjung bisa menikmati makanan sambil menikmati pemandangan kanal.

Melihat perahu-perahu tersebut berlayar sangat menyenangkan, entah kenapa tiba-tiba pikiranku langsung membayangkan salah satu scene di "Huan Zhu Gege" yang berlatar sungai dan perahu Cina ini, sungguh cantik. Jangankan perahu yang sedang berlayar, perahu yang sedang bersandarpun terlihat sangat cantik di mataku.

Pic from CNTO (China National Tourist Office)
Deretan Boat yang sedang menepi
Salah satu Boat menyusuri kanal

Restoran di pinggir kanal
Entah kenapa hari itu Zhujiajiao sangat ramai pengunjung baik lokal maupun mancanegara, entah memang sehari-harinya memang selalu ramai atau bagaimana, agak sulit bagi kami untuk mengambil foto yang bagus tanpa terhalang orang. Jangankan untuk berfoto, menaiki anak tangga saja sudah cukup melelahkan karena banyaknya orang. Oiya.. kalau diperhatikan, di sepanjang Fangsheng Bridge ini banyak sekali penjaga keamanannya, mungkin karena tembok batu jembatan ini sangat rendah, sehingga keberadaan security ini diperuntukkan untuk memperingati para pengunjung agar tidak terlalu dekat ke tepi jembatan demi keselamatan pengunjung sendiri.

Selain Fangsheng Bridge, masih banyak jembatan lain yang bisa dikunjungi, namun kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami dengan mengelilingi bagian lain dari Zhujiajiao. North Street, adalah salah satu tempat yang menarik untuk dikelilingi, ada banyak toko souvenir, kerajinan tangan, local snacks, restoran dan sebagainya. Bangunan yang ada di sekitar North Street adalah salah satu tipikal bangunan tua dan sangat artistik, namun saya agak terganggu dengan bau menyengat yang keluar dari beberapa makanan yang dijajakkan di sepanjang jalan, mungkin karena tidak terbiasa jadi saya tidak bisa bertahan lama di dekat toko yang menjual penganan tersebut.



Jalan menuju Fangsheng Bridge
Bagi saya pribadi, kota ini jauh lebih hangat daripada Beijing. Entah karena kotanya yang masih banyak toko atau ruko di pinggir jalan atau entah juga karena orang-orangnya yang tidak 'seberisik' di Beijing. Ditambah lagi pemandangan sepanjang perjalanan kami sangat menarik dan menenangkan, dan menariknya saya sempat jatuh hati pada sebuah taman dan danau kecil di salah satu sudut jalan yang sangat bersih dan indah, setelah diamati ternyata taman ini banyak digunakan untuk memancing oleh para warga sekitar. Pemandangan yang hangat dan menenangkan. 

Minusnya di sini adalah mengenai issue yang sama seperti yang banyak kita temukan di Jakarta,  yakni mengenai trotoar yang justru banyak digunakan oleh kendaraan bermotor,  bahkan pengendara sepeda motor lebih galak dan tanpa merasa bersalahnya bisa memarahi pejalan kaki yang menghalangi jalan mereka di trotoar. Menyedihkan memang, tapi memang begitu realitanya. Tapi overall this place is worth to visited.

Taman di salah satu sudut jalan

Sewa Sepeda di Cina dengan menggunakan QR code dari handphone

Idul Fitri Menggetarkan Hati

By hanaumiya - 17 June 2018


Gema takbir bergemuruh di seluruh bagian masjid, semua orang menyanjung kebesaran Allah atas karuniaNya yang memberikan kami kesempatan untuk bertemu dengan hari Idul Fitri ini. Ada dua rasa yang jelas berkecamuk dalam dada, mengguncang batin terdalam hingga tak berdaya menahan buliran air mata meluncur dengan derasnya.

Sedih karena bulan ramadhan telah pergi meninggalkan kami semua tanpa kami tau apakah dosa kami diampuni setelah berlalunya bulan penuh ampunan ini. Sedih karena kami sadar bahwa kami belum bisa beribadah dengan maksimal serta sedih jika terpikir apakah kami masih diberikan kesempatan bertemu bulan suci di tahun mendatang. 

Di lain sisi muncul rasa bahagia karena Allah menyampaikan kami untuk sampai di garis finish di hari idul fitri ini, serta bahagia dan syukur atas kesempatan untuk berkumpul dengan semua anggota keluarga kami semua. 

Tahukah kamu, sejak Bapak pergi lima tahun lalu, masjid menjadi salah satu tempat mengais asa palsu bagiku. Aku selalu berkhayal dan mengharap jika aku melaksanakan solat di masjid, aku akan melihat Bapak keluar dari tempat itu. Karena masjidlah tempat kedua setelah rumah kami di mana Bapak banyak menghabiskan waktu.
 
Tak terkecuali hari ini, aku melaksanakan sholat Ied di masjid dekat rumah. Posisiku menghamparkan sajadah sangat memungkinkan untuk melihat 'shaf' pertama di barisan imam masjid. Akupun kembali berharap bahwa aku akan melihat bayangan Bapak mengisi salah satu 'shaf terdepan tersebut.  Satu per satu aku perhatikan, dengan menyisakan sedikit asa yang ku tahu pasti sangat mustahil, aku masih tetap berharap hingga akhirnya aku tersadar bahwa semua itu mustahil. Bapak sudah pergi.  Dan bulir air mata meluncur deras di pipi, aku salah. 

Tidak lama kemudian, sholat Ied pun dimulai, trakbir pertama mengguncang dada begitu hebatnya, betapa sebuah 'Allahu Akbar' mampu menciutkan hati dan menyadari betapa kecilnya diri ini dan betapa besar dan hebatnya Allah, Allah, Allah. Takbir kedua, aku masih berusaha bertahan, kembali terciutkan dengan kenyataan bahwa apalah diri ini dan siapakah diri ini tanpa bantuan dan pertolongan Allah.  Dan takbir ketiga berhasil memporak-porandakan pertahananku, air mata tidak hanya jatuh dari pelupuk mata namun mengalir deras hingga membasahi mukena yang bersarang di tubuhku. 

Rabbii.. Lillaah.. Allah.. 
Sungguh kami bukanlah Apa-apa tanpa belas kasih dan sayangMu, kamipun tidak punya apa-apa tanpa kemurahanMu wahai Dzat Yang Maha Kaya. Sungguh malu diri ini memgingat munculnya rasa angkuh akan kehidupan, merasa mampu padahal Engkaulah yang memampukan kami dalam segala hal. Ampuni kami Yaa Illahii..