Di pagi yang cerah, lantunan ayat suci Al-Quran menggema indah di salah satu ruang hotel di bilangan Jakarta Selatan.
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS.30 : 21)
Semua lantunan ayat dan tilawah tersebut menambah suasana sakral di acara akad nikah Theo dan Bianca, kedua sahabat Arimbi sejak di bangku kuliah. Tidak lama setelah itu prosesi akad nikah pun dimulai dengan pembacaan Syahadat bagi Bianca untuk kemudian meminta izin kepada orang tuanya untuk dinikahkan dengan lelaki yang dipilihnya. Momen seperti ini dalam acara akad nikah selalu berhasil membuat Arimbi terenyuh. Bukan hanya karena dalamnya kata-kata yang disampaikan oleh sang pengantin perempuan, namun juga tentang bagaimana seorang ayah akhirnya melepas sang putri untuk menjadi tanggung jawab orang lain yakni suaminya.
"Ga, ritual minta izin ini harus ada ya di setiap akad nikah? Boleh ngga kalau nanti pas nikah aku ngga usah minta izin seperti ini?" ujar Arimbi pada Rhaga ketika mereka menghadiri pernikahan seorang teman.
"Ngga bisa dong Mbi, Pak Penghulu pasti akan selalu meminta pengantin perempuan minta izin ke walinya" jawab Rhaga
Arimbi tidak bergeming, hatinya bergejolak membayangkan momen ini di pernikahannya kelak tanpa keberadaan sang ayah dan air matapun jatuh dari pelupuk mata Arimbi.
Rhaga tidak mengeluarkan sepatah katapun, Ia hanya menggenggam erat tangan Arimbi untuk menguatkan dan menenangkan Arimbi dengan caranya, Ia sadar bahwa wanita di sampingnya sedang tidak nyaman, dan kata-kata bukanlah yang kini dibutuhkan olehnya.
Itulah sekilas percakapan ketika pertama kali Arimbi menghadiri akad nikah bersama lelaki itu, dan momen minta izin pada akad nikah selalu menjadi momok tersendiri baginya.
Setelah kata 'SAH' terucap dari mulut sang penghulu, semua orang mengucap syukur dan ada rasa bahagia yang begitu besar membuncah dalam hati Arimbi. Betapa Ia merasa lega karena kedua sahabatnya kini sudah sah menjadi sepasang suami istri, Ia menjadi saksi pertemuan mereka, menjadi saksi perjalanan hubungan mereka dan kini Ia juga berkesempatan menyaksikan dan menjadi bagian dari hari bahagia mereka. Sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata namun jelas Arimbi menyadari bahwa ia sangat bahagia.
Sambil menikmati ritual adat Jawa yang dijalani oleh Theo dan Bianca, Arimbi berkelana dalam pikirannya, berusaha menyelami yang ia rasakan, tersadar bahwa begitu banyak hal kecil atau besar sekalipun yang bisa membuatnya bahagia. Menjadi saksi dari kebahagiaan orang-orang terdekatnya adalah salah satu sumber kebahagiaan yang dirasa olehnya. Arimbi menyadari bahwa bahagia itu tidak melulu harus karena Ia yang menjadi objek penerima kebahagiaan, melalui hal ini misalnya, Ia bisa merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh kedua sahabatnya, dan baginya itu sangat berarti.
Sama seperti menjadi volunter pengajar misalnya, pernah sahabatnya mempertanyakan tentang hobi unik Arimbi
"Mbi, emang kamu ngga cape ya ngajar-ngajar gitu?"
"Mendingan kamu hangout atau tidur sekalian Mbi daripada ngajar begitu"
"Kamu kan ngga dibayar, emang ngga rugi ya ngajar gratis gitu?"
"Transport kamupun bayar sendiri, kamu ngga sayang yah?"
Itulah beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan teman-teman Arimbi kepadanya. Mengajar adalah salah satu kesenangan bagi Arimbi, diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menjadi pengajar di YPAB misalnya, itu adalah salah satu kesempatan besar yang akhirnya mengubah pola pikir dan membuka mata Arimbi dalam memandang hidup.
Dibilang lelah ya pasti lelah, karena Arimbi harus menyiapkan materi sebelum mengajar, menempuh perjalanan ke tempat mengajar dan sebagainya, tapi lelah itu langsung menguap begitu saja ketika bertemu anak-anak dan melihat antusias dan semangat mereka dalam belajar. Melihat mereka dengan segala keterbatasan yang ada terus berusaha mengejar mimpi untuk memperbaiki taraf hidupnya dan inilah yang kemudian membuat Arimbi semakin jatuh cinta pada dunia volunteer.
Dari sini Arimbi belajar bahwa bahagia itu sangat luas, kalau dulu Ia menjadikan orang lain sebagai poros kebahagiaannya, kalau dulu Ia bahagia asalkan orang yang dicintainya bahagia meskipun Ia sendiri terluka, dan kalau dahulu bahagia baginya adalah dengan mendapatkan segala yang diinginkan. Namun kini pemahaman itu berubah, bagi Arimbi bahagia adalah menjadikan dirinya sendiri sumber kebahagiaan, ketika ia bisa menjadi bagian dari kebahagiaan orang lain serta ketika Ia bisa memberi manfaat bagi orang lain. Hal yang tidak bisa tergantikan dengan berapapun materi yang didapat. Hal berharga inilah yang baru ditemukannya sejak Ia menekuni profesi sebagai volunteer tutor.
Your happiness in your own responsibility and choice, never blame others for your unhappines.Your happiness is in you -hnu