Health Issue
Travel
Thoughts
Review

Kenapa Menulis Blog?

By hanaumiya - 24 November 2018


Menulis bukan hal yang asing bagi saya, sejak kecil saya sudah terbiasa untuk menyampaikan sesuatu dalam bentuk tulisan, baik itu berupa cerita keseharian, curahan isi hati maupun berupa puisi ala-ala yang hanya berbekal kosakata minim pada saat itu. Tidak terhitung berapa banyak buku diary yang sudah saya tuliskan sejak saya masih SD hingga kuliah sebelum akhirnya beralih ke blog sebagai penyalur kegemaran saya menulis. 

Bagi saya, menulis adalah proses menerjemahkan isi pikiran dan isi hati dalam rangkaian kata-kata. Terkadang ketika isi pikiran masih mess up, saya terbiasa menggunakan teknik menulis untuk merumuskan satu persatu apa yang ada di pikiran saya tentang satu atau beberapa hal. Setelah selesai, kemudian saya membaca kembali tulisan tersebut dan berusaha untuk menyusun puzzle atas hal tersebut melalui panduan dari apa yang telah dituliskan tadi.

Dalam menulis blog misalnya, ketika sudah memiliki tema, foto serta konsep yang sudah sangat kompleks dalam benak, maka biasanya saya langsung menuliskan setiap potongan content yang muncul dalam pikiran saya terlebih dahulu, setelah itu saya akan membacanya kembali dan membongkar-pasang susunan atau isi content agar sesuai dengan tema yang ingin saya sampaikan. 

Pada tahun 2016 itulah pertama kali saya mulai masuk ke dunia blogging, berkat ajakan dan bantuan luar biasa dari sahabat saya yang kini juga menjadi partner bisnis inilah kemudian blog hanaumiya.com bisa menjadi seperti ini penampakanannya, many thankss for my babybalabalaa n-journal.com yang sudah banyak berjasa dalam dunia blogging saya, hehe :)

Melalui blog, saya bisa menulis pengalaman yang kelak bisa saya baca kembali entah sebagai pengingat atau hanya sekedar untuk napak tilas semua yang pernah saya lakukan pada masa itu. Barangkali sedikit yang saya tulis itu bisa bermanfaat bagi orang lain termasuk tentang sharing pengalaman kegiatan volunteer, traveling, hingga berbagai kegiatan atau kelas workshop yang pernah saya ikuti. Melalui blog juga, saya bisa mengemukakan pendapat saya tentang hal-hal dari sudut pandang saya sebagai individu. Dari situlah kemudian ketertarikan dengan dunia penulisan ini menjadi semacam nadi yang menempel pada diri saya. Menulis seakan menjadi hal wajib yang rutin harus dilakukan, dan hebatnya menulis itulah yang kemudian menjadi salah satu sarana hiburan yang produktif yang pernah saya lakukan.

Perbedaan mendasar antara menulis di blog dengan memulis di buku harian terletak pada publisitas. Tulisan yang tadinya hanya bisa dibaca secara personal dalam bentuk hardcopy buku diary oleh diri sendiri, kini melalui blog tulisan tersebut bisa dibaca oleh orang lain dalam konteks yang sangat luas melalui jaringan internet. Dengan demikian tidak semua hal bisa dengan mudahnya dipublish untuk umum. Kini tulisan tidak hanya sekedar asal ketik langsung publish dan tidak pula tanpa berpikir langsung publish. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menulis dan mempublish sebuah tulisan dalam blog. Seperti pertimbangan apakah hal yang akan ditulis ini pantas atau tidak, apakah hal yang ditulis ini bisa bermanfaat atau tidak, dan apakah tulisan ini akan menyinggung orang lain atau tidak.

Pertimbangan ini tidak lantas membuat saya tidak menjadi diri sendiri dalam menulis, bukan berarti berusaha menjaga image dengan memilah tulisan dan bahasa, sama sekali tidak. Semua ini lebih kepada satu hal yang menjadi tujuan saya dalam menulis, yakni asas kebermanfaatan dalam setiap tulisan yang saya hasilkan. Dalam suatu kesempatan kajian saya diingatkan untuk terus berusaha mengumpulkan amal jariyah dan menjauhi dosa jariyah. Nah, melalui blog ini salah satunya saya sedang berusaha agar apa yang saya tulis sedikitnya bisa bermanfaat bagi orang lain, jikalaupun tidak, jangan sampai tulisan-tulisan saya di sini justru menjadi dosa jariyah bagi diri saya yang akan membawa mudhorot bagi orang lain. 



#30daysblogging


Maaf Terindah

By hanaumiya - 3 November 2018


Arimbi

Singapura di bulan December memang selalu menarik untuk dikunjungi, tak terkecuali oleh Arimbi. Suasana natal di negeri ini sungguh hangat terasa, berbagai jenis pohon natal dan lampu-lampu dalam berbagai bentuk menjadi daya tarik sendiri bagi bagi mereka yang ingin merasakan kemeriahan December tanpa perlu bertandang jauh dari Indonesia. Orchad Road dan di sepanjang jalan sekitar Hotel Fullerton menjadi tempat favorit Arimbi untuk menghabiskan waktu sekedar untuk berjalan kaki ataupun mencuci mata selama di Singapura.

Langit malam kali ini begitu indah, bulan bersinar terang ditemani oleh bintang-bintang yang menari indah di tengah hamparan langit hitam. Pertunjukkan air mancur dan laser di depan Marina Bay Sands melengkapi keindahan malam itu, malam di mana Arimbi akhirnya untuk pertama kali merenungkan segala yang terjadi satu tahun belakangan, pertama kali menjauh dari semua orang yang terlibat dalam perjalanan hidupnya selama satu tahun silam.

Arimbi duduk manis menikmati pertunjukkan air mancur yang menari lincah mengikuti alunan musik dan sinar laser yang tidak kalah menakjubkan tersugu indah di hadapannya. Semua mata tertuju pada pertunjukkan di depan mata mereka masing-masing, ada yang berdecak kagum namun adapula yang memandang dengan sangat biasa. Hingga pertunjukkan selesai dan orang-orang mulai meninggalkan tempat itu untuk kemudian masuk ke Marina Bay Sand Mall atau bahkan berjalan kaki menuju sudut lain untuk menikmati Singapura di malam hari. Namun Arimbi tetap duduk manis di titik itu, memandang ke depan, lalu ke langit, menikmati setiap detik rasa damai dan tertram yang muncul dalam hatinya.

"Kamu apa kabar Mbi?" tanya Rhaga ragu-ragu sambil menatap gadis di hadapannya.
"Alhamdulillah baik, Kamu gimana kabarnya?" Arimbi bertanya balik kepada Rhaga. Itu adalah pertemuan pertama mereka setelah empat bulan lalu hubungan mereka berakhir. Terasa canggung bagi keduanya untuk memulai percakapan di tengah suasana coffee shop yang sangat cozy diiringi musik instrumental di bilangan Senopati.
"Seperti yang kamu lihat Mbi, Aku baik" jawaban menggantung yang Arimbi sadari bahwa kondisinya mungkin tidak sebaik yang terlihat dari wajahnya.

Seminggu yang lalu Rhaga berusaha menghubungi Arimbi untuk mengajaknya bertemu, namun Arimbi selalu menolak dengan berbagai alasan, karena dia merasa tidak perlu untuk bertemu lagi dengan lelaki itu, semua sudah berakhir dan hidupnya kini sudah baik-baik saja tanpa Rhaga. Tapi Rhaga terus mendesak karena Ia merasa ada yang masih perlu dibicarakan dengan Arimbi, hingga akhirnya Arimbi mengiyakan pertemuan itu di hari Jumat sepulang kantor. Awalnya Rhaga menawarkan untuk menjemputnya di kantor namun Arimbi menolak dan meminta langsung bertemu di tempat yang sudah dijanjikan.

"Kamu kelihatan gemukan Mbi dan you look so happy" Rhaga memulai percakapan dengan hati-hati
"Alhamdulillah sekarang aku udah gemukan karena olahraga, dan yeah aku happy banget dengan hidupku sekarang" Arimbi kaget mendengar ucapan Rhaga, dia takjub bahwa lelaki ini masih bisa memperhatikan detail dirinya. Karena memang benar berat badannya naik selama beberapa bulan ini.
"Aku ngga nyangka kamu seperti ini sekarang, aku senang ngelihat kamu seperti ini" timpal Rhaga sambil tersenyum simpul menatap Arimbi yang sedang menikmati hot chocolate kesukaannya.
"Memangnya kamu pikir aku bakal gimana? bakal frustasi dan kurus kerontang gitu abis kita putus?" jawab Arimbi sambil tertawa santai. Dia sama sekali tidak gentar dengan semua perkataan lelaki itu
"Ngga kok Mbi, aku percaya kamu ngga akan seperti itu" Rhaga berusaha menjelaskan

Kemudian suasana hening seketika, seakan mereka adalah orang yang baru kenal yang sedang kebingungan mencari topik pembicaraan. Arimbi menunggu Rhaga untuk membuka percakapan karena dialah yang meminta pertemuan ini, sedangkan Arimbi sendiri merasa enggan untuk membuka topik.

"Makasih ya Mbi kamu masih mau ketemu sama aku, aku pikir kamu bakal ngeblock nomor aku dan kamu bakalan benci banget sama aku" Rhaga tiba-tiba memecah keheningan sambil menatap Arimbi
"Hahaha...Ngga lah, aku bukan ABG yang bakal ngeblock nomor orang. Dan asal kamu tau Ga, aku ngga pernah benci sama kamu" Jawab Arimbi santai. Karena Ia yakin dalam hatinya tidak pernah sekalipun Ia membenci Rhaga, bahkan setelah semua tindakan paling jahat yang pernah dilakukan Rhaga kepadanya, rasa benci itu tak pernah ada.
"Jadi kamu ngajak ketemuan hari ini cuma untuk ini? kalau cuma mau minta maaf lewat telefon juga bisa Ga" tanya Arimbi
"Hmm, ngga cuma itu Mbi...aku datang untuk minta maaf atas nama Ibu aku ke kamu. Atas semua perlakuan Ibu ke kamu, atas semua perkataan dan tindakan beliau yang pernah membuat kamu sakit hati" Rhaga menundukkan wajahnya seraya malu akan perkataan yang keluar dari mulutnya
"Seminggu lalu Ibu sakit, meskipun kondisinya saat ini sudah membaik, aku merasa perlu minta maaf atas nama beliau ke kamu" Rhaga melanjutkan

Arimbi terdiam memperhatikan tiap kata yang keluar dari mulut lelaki di hadapannya, mulutnya terus berbicara, matanya terlihat lelah. Arimbi mengenal lelaki ini dengan sangat baik, Ia tahu pasti kapan lelaki ini bicara jujur dan kapan Ia berbohong, Ia juga tahu pasti bagaimana raut wajahnya ketika bahagia ataupun ketika sedang tertekan, dan Ia menyadari bahwa lelaki di depannya ini sedang bergulat dengan dirinya sendiri seakan kehilangan arah.

"Kenapa kamu yang minta maaf? kalau kamu tau Ibu yang ada salah sama aku seharusnya beliau yang minta maaf, bukan kamu" suara Arimbi terdengar datar

"Well, ngga mungkin juga lah ya beliau minta maaf sama aku, mau ditaruh di mana mukanya kalau  minta maaf sama aku, atau mungkin beliau sendiri justru ngga pernah sadar kalau ada salah sama aku" Arimbi melanjutkan dengan sedikit sarkasme. Dalam hatinya, masih teringat jelas semua rentetan kejadian yang dialaminya, semua kenangan buruk yang berkaitan dengan wanita itu, kata demi kata yang pernah keluar dari mulut seorang wanita bernama Ibu kepada anak gadis orang lain. Semua itu tidak mungkin bisa terlupakan oleh Arimbi. Namun Arimbi punya cara sendiri untuk berdamai dengan memori pahit itu.

"Mbi, maafin Ibu, Ibu juga hanya manusia biasa, beliau juga pernah melakukan kesalahan" suara Rhaga memohon kepada Arimbi. Dalam hati Ia mengakui bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ibunya saat itu sangat tidak bisa diterima, terlebih Ibunya adalah seorang pengajar agama yang seharusnya tahu betul bagaimana memperlakukan orang lain sesuai ajaran agama, bagaimana memandang orang lain tanpa menjudge mereka dari sudut pandang itu. Rhaga pun menyesali hal itu, tapi bagaimanapun wanita itu tetaplah Ibunya, sesalah apapun tindakannya, Ia harus tetap menghormatinya.

"Kamu mau aku jujur? Sebelum kamu minta maaf untuk diri kamu sendiri atau minta maaf atas nama Ibu, dari lubuk hati terdalam aku sudah memaafkan kalian. Aku sudah memaafkan semua yang pernah kamu lakukan ke aku, bahkan semua campur tangan Ibu dalam hubungan kita dulu sudah aku maafkan. Aku memaafkan bukan untuk kalian, tapi untuk diriku sendiri" Terang Arimbi
"Mbi.." Rhaga tercekat tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, sedangkan gadis di depannya begitu tegar mengungkapkan perasaannya.

"Perjuanganku untuk menyembuhkan luka ini tidak mudah, Ga. Aku hanya punya dua pilihan saat itu: terus membenci kamu dan Ibu atau justru memaafkan kalian. Jika aku memilih pilihan pertama, maka seumur hidup aku akan terus hidup berdampingan dengan rasa benci dan sakit hati karena kalian, aku tidak akan pernah bisa move on karena rasa benci ini terus bersarang dalam diriku dan aku rasa sangat tidak pantas membiarkan orang-orang yang pernah menabur luka untuk terus bersarang dalam hidupku meskipun dalam bentuk rasa benci. Oleh karena itu aku memilih untuk memaafkan kalian, bukan karena perbuatan kalian bisa dengan mudahnya dimaafkan, sama sekali bukan, karena aku sadar bahwa aku akan lebih cepat pulih dan bangkit setelah memaafkan kalian sehingga aku bisa melepas segala keterkaitan kalian dalam jalan hidupku kedepannya" Arimbi menjawab dengan sangat tenang.

"Mbi..." Lagi-lagi Rhaga tak bisa berkata-kata, takjub betapa Arimbi yang kini duduk di hadapannya berbeda dengan yang dikenalnya selama ini. Wanita di depannya ini begitu dewasa dan tenang, terlebih rentetan kalimat yang keluar dari bibir Arimbi mencerminkan transformasi dirinya yang begitu besar dalam waktu singkat.

Arimbi tertegun melihat bulir air mata keluar dari sudut mata Rhaga, lelaki di hadapannya ini masih sama seperti dulu, masih begitu rapuh. Disadari Arimbi bahwa ini bukanlah kali pertama lelaki ini menangis di hadapannya, namun kali ini Ia melihat betapa Rhaga kehilangan dirinya, Ia tersesat. Dalam hati Arimbi merenungkan bahwa mereka berdua sama-sama 'korban' dari jalan 'takdir' yang memilukan, 'takdir' yang dinamakan ujian. Yang membedakan adalah jalan apa yang dipilih oleh keduanya untuk sembuh dan melanjutkan hidup, yang pada akhirnya menjadi after effect dari ujian tersebut.

"Ga, terima kasih ya karena kamu sudah melepaskan aku" Arimbi tiba-tiba buka suara
"Tapi aku melakukan hal paling buruk ke kamu, Mbi" jawab Rhaga
"Justru aku berterima kasih atas 'kebrengsekan' kamu, kalau bukan karena itu mungkin aku ngga akan berada di titik ini" Arimbi melanjutkan. Suaranya mulai parau, Arimbi tersadar bahwa jika bukan karena apa yang telah dilakukan Rhaga padanya, mungkin Ia tidak akan mampu meninggalkan lelaki itu, Ia pun tidak akan merasa punya alasan yang kuat untuk melepasnya. Tapi nyatanya salah satu tindakan lelaki itulah yang justru mendorongnya untuk melepaskan dan meninggalkan Rhaga di lembah terdalam untuk kembali kepermukaan dan menemukan dirinya yang sempat hilang sekian tahun lamanya.



Memaafkan bukanlah tentang orang lain
Memaafkan juga bukan karena tindakan tersebut pantas dimaafkan
Memaafkan bukan pula berarti kamu lemah
Itu tentang dirimu sendiri
Itu tentangmu yang ingin mengikhlaskan dan melupakan tindakan bodoh tersebut
Itu adalah tentang kuatnya dirimu karena mampu memaafkan tanpa diminta
Karena maaf terindah bukanlah tentang orang lain, melainkan tentang dirimu
-Arimbi-