Health Issue
Travel
Thoughts
Review

Idul Fitri Menggetarkan Hati

By hanaumiya - 17 June 2018


Gema takbir bergemuruh di seluruh bagian masjid, semua orang menyanjung kebesaran Allah atas karuniaNya yang memberikan kami kesempatan untuk bertemu dengan hari Idul Fitri ini. Ada dua rasa yang jelas berkecamuk dalam dada, mengguncang batin terdalam hingga tak berdaya menahan buliran air mata meluncur dengan derasnya.

Sedih karena bulan ramadhan telah pergi meninggalkan kami semua tanpa kami tau apakah dosa kami diampuni setelah berlalunya bulan penuh ampunan ini. Sedih karena kami sadar bahwa kami belum bisa beribadah dengan maksimal serta sedih jika terpikir apakah kami masih diberikan kesempatan bertemu bulan suci di tahun mendatang. 

Di lain sisi muncul rasa bahagia karena Allah menyampaikan kami untuk sampai di garis finish di hari idul fitri ini, serta bahagia dan syukur atas kesempatan untuk berkumpul dengan semua anggota keluarga kami semua. 

Tahukah kamu, sejak Bapak pergi lima tahun lalu, masjid menjadi salah satu tempat mengais asa palsu bagiku. Aku selalu berkhayal dan mengharap jika aku melaksanakan solat di masjid, aku akan melihat Bapak keluar dari tempat itu. Karena masjidlah tempat kedua setelah rumah kami di mana Bapak banyak menghabiskan waktu.
 
Tak terkecuali hari ini, aku melaksanakan sholat Ied di masjid dekat rumah. Posisiku menghamparkan sajadah sangat memungkinkan untuk melihat 'shaf' pertama di barisan imam masjid. Akupun kembali berharap bahwa aku akan melihat bayangan Bapak mengisi salah satu 'shaf terdepan tersebut.  Satu per satu aku perhatikan, dengan menyisakan sedikit asa yang ku tahu pasti sangat mustahil, aku masih tetap berharap hingga akhirnya aku tersadar bahwa semua itu mustahil. Bapak sudah pergi.  Dan bulir air mata meluncur deras di pipi, aku salah. 

Tidak lama kemudian, sholat Ied pun dimulai, trakbir pertama mengguncang dada begitu hebatnya, betapa sebuah 'Allahu Akbar' mampu menciutkan hati dan menyadari betapa kecilnya diri ini dan betapa besar dan hebatnya Allah, Allah, Allah. Takbir kedua, aku masih berusaha bertahan, kembali terciutkan dengan kenyataan bahwa apalah diri ini dan siapakah diri ini tanpa bantuan dan pertolongan Allah.  Dan takbir ketiga berhasil memporak-porandakan pertahananku, air mata tidak hanya jatuh dari pelupuk mata namun mengalir deras hingga membasahi mukena yang bersarang di tubuhku. 

Rabbii.. Lillaah.. Allah.. 
Sungguh kami bukanlah Apa-apa tanpa belas kasih dan sayangMu, kamipun tidak punya apa-apa tanpa kemurahanMu wahai Dzat Yang Maha Kaya. Sungguh malu diri ini memgingat munculnya rasa angkuh akan kehidupan, merasa mampu padahal Engkaulah yang memampukan kami dalam segala hal. Ampuni kami Yaa Illahii..

No comments

Post a Comment